Ormawa Peringati Hari Besar: Sebuah Keberpihakan atau Formalitas?

Elsa Salma Benanny
707 views
Peringatan Hari Besar oleh Ormawa hanya formalitas
','

' ); } ?>

Peralihan luring menjadi daring yang serba digital selama pandemi ini sangat kentara. Penggunaan serta pemutakhiran perangkat digital gencar dilakukan. Segala bentuk kegiatan ditumpahkan dalam media digital. Termasuk berlangsungnya program-program organisasi kemahasiswaan.

Organisasi kemahasiswaan atau biasa disingkat Ormawa, tentunya memiliki berbagai program kerja. Mengingat kini kita berada di abad ke-21 dan teknologi semakin menguasai, maka tak heran media sosial menjadi wadah setiap Ormawa untuk mengunggah konten program kerjanya di media sosial mereka. Sementara itu, yang bertanggung jawab dalam penaikan konten tersebut biasanya dipegang oleh divisi/departemen media dan Informasi atau media kreatif. 

Berbagai postingan akan terpampang sesuai dengan tema atau program yang mereka buat, seperti unggahan bertema hari-hari besar nasional: Hari Sumpah Pemuda, Hari Guru, Hari Batik, dan lain sebagainya. Jika dalam konteks pengucapan hari raya, seperti Natal atau Idul Fitri, itu bisa dikatakan sebagai wujud toleransi beragama. Mengingat Indonesia adalah negara yang beragam, hal ini tentunya lumrah dilakukan. Namun, bagaimana dengan peringatan-peringatan hari besar yang lain? Akankah ini hanya sebagai formalitas semata atau justru merupakan sebuah keberpihakkan? 

Contoh lainnya  mengenai Hari Pers Nasional. Peringatan Hari Pers Nasional ini banyak dirayakan, terutama oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)—yang memang didukung pemerintah. Mereka merayakannya  dengan mengadakan acara besar, salah satunya Festival Layangan Naga di Probolinggo, atau minimal dalam bentuk ucapan yang diunggah  di sosial media. Namun, tidak semua lembaga Pers merayakan hari Pers Nasional ini, termasuk Pers Mahasiswa Pena Budaya. 

Hal ini berdasar pada polemik dari Hari Pers itu sendiri. Ditilik dari sejarah, Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari–hari yang juga merupakan hari ulang tahun PWI–dan disahkan oleh presiden Soeharto dalam Kepres No.5 tahun 1985.  Dari sinilah muncul pro dan kontra tentang perayaan Hari Pers Nasional ini. 

PWI menjadi satu-satunya organisasi Pers yang diperbolehkan beroperasi pada masa Orde Baru (Orba) yang pada masa itu marak terjadi pembredelan terhadap organisasi-organisasi Pers selain PWI. Penolakan terhadap Hari Pers diluncurkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan menyatakan bahwa 9 Februari tidak layak diperingati sebagai hari pers nasional. 

Dengan ini, merayakan Hari Pers Nasional dapat dikatakan memihak rezim Orba. Padahal, organisasi wartawan sudah muncul sejak zaman pergerakan antikolonialisme yang didirikan oleh para jurnalis dan aktivis. Hal ini dapat dilihat sejak tahun 1914, Mas Marco mendirikan Inlandsche Journalisten Bond (IJB). Ada pula berdirinya Sarekat Journalists Asia pada 1925, pendirian Perkoempoelan Kaoem Journalists  pada 1931, dan Persatoean Djurnalis Indonesia pada 1940.

Penilaian ini dianggap memunculkan spekulasi bahwa dengan mengacu pada hari lahir PWI, terkesan mengabaikan perintis Pers Indonesia dari panjangnya perjuangan Pers Nasional. Beberapa tanggal diajukan sebagai usul peninjauan ulang Hari Pers ini. Namun, hingga saat ini, belum terjadi perubahan apa pun. Itulah alasan bahwa yang merayakan Hari Pers Nasional dianggap memihak dan tidak seharusnya dirayakan. 

Selain Hari Pers Nasional, mengenang hari lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) juga menjadi pertanyaan. Sebagaimana yang terdapat pada unggahan Instagram @bpmfibunpad pada 11 Maret lalu. 

Postingan serupa diupload oleh akun instagram @bemfibunpad satu hari setelahnya.

Dapat dikatakan tujuannya adalah agar kita tidak lupa akan sejarah kelam Indonesia. Hal itu diungkapkan dalam kalimat akhir di caption unggahan  @bemfibunpad, “jangan sekali-kali melupakan sejarah.”

Namun, di sisi lain, Supersemar  juga menuai beberapa prahara, mulai dari raibnya dokumen asli, menjadi tanda adanya dualisme kepemimpinan, dan akar lahirnya Orde Baru. 

Dilihat dari urgensinya pun, saya pikir tidak terlalu besar. Saya rasa akan lebih menarik jika postingan-postingan semacam itu, menyajikan hal baru yang kemungkinan tidak atau hanya sedikit dibahas oleh akun-akun lain. Hal yang bisa dijadikan terobosan membuka pandangan pembaca dan dapat menjadi ciri khas tersendiri bagi Ormawa tersebut. 

Contohnya jika ingin mengambil topik Supersemar, bisa dengan merekomendasikan film yang berhubungan dengan kisah/sejarah Supersemar disertai pandangan tentang film tersebut. Bisa juga mengangkat pembahasan seperti efek dari adanya Supersemar sebelum dan sesudahnya bagi berbagai lapisan kelas, baik atas, menengah, maupun bawah.

Mengingat Fakultas Ilmu Budaya tidak hanya mengenai sejarah, melainkan juga didominasi oleh sastra bahasa yang beragam. Unggahan yang lebih cocok contohnya Hari Sejarah Nasional. Dari sudut pandang saya, lebih tepat jika unggahan mengenai Supersemar ini, dibahas pada akun Himpunan Mahasiswa Sejarah yang mungkin bisa dikupas tuntas fakta-fakta menariknya. 

Ada beberapa unggahan dari @bemfibunpad yang menarik, salah satunya mengenai keterkaitan antara maraknya kekerasan seksual dengan kapitalisme.  

Dari satu tema yang menurut saya itu cukup luas, ada baiknya menyajikan hal baru diluar informasi umum hingga pembaca tertarik untuk lebih mendalaminya. Dengan itu, akan terjalin hubungan simbiosis mutualisme antara postingan Ormawa dan Mahasiswa sebagai pembaca. Melalui konten edukasi yang dapat benar-benar mengedukasi, kecuali konten yang dinaikan adalah konten hiburan. 

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran