Pengalaman Saya Berkuliah Menggunakan Sarung di FIB

Bismoko Nizaar A
1805 views
','

' ); } ?>

Gaya yang unik dan slengean dalam berpenampilan dan berpakaian adalah salah satu ciri khas di Fakultas Ilmu Budaya. Mulai dari mereka yang sering gonta-ganti warna rambut kayak anak-anak di UKM FIB Rator, sampai mereka yang mengenakan pakaian yang merepesentasikan jurusan mereka masing-masing. Contohnya seperti anak Sastra Jepang yang sesekali pernah saya lihat mereka menggunakan jaket Akatsuki.

Nggak jarang juga di acara-acara tertentu ada beberapa orang yang kelewat totalitas dalam melakukan cosplay. Saya ingat betul tuh saat parade Hari-Hari Sastra 2019 silam, ada mahasiswa yang berdandan menggunakan seragam satpam lengkap dengan topinya, peluitnya, sampai ke raut mukanya yang dibuat serius dan minim ekspresi biar kelihatan garang *raawrr.

Saya tentunya juga punya dong pengalaman dalam hal berpakaian dengan cara yang aneh (baca: keren). Saat kita semua masih mengenal kuliah offline, saya sempat berkuliah selama satu minggu penuh menggunakan kaos, sarung, dan sendal. Eits, saya sama sekali nggak berniat untuk mendapatkan atensi ataupun untuk merepresentasikan jurusan. Hal yang saya lakukan ini betul-betul fungsional. Percaya deh!

Semua ini bermula saat saya dan teman saya hendak menuju ke Ciseke buat makan siang. Niat awalnya kami hanya ingin pergi berdua, tetapi tiba-tiba muncul sosok ketiga yang membuat kami harus ‘boti’ a.k.a bonceng tiga untuk menuju ke ATM Center terlebih dahulu.

Transaksi di mesin ATM berjalan dengan lancar, tapi hal ini berlawanan dengan nasib kami yang naas. Nggak ada angin nggak ada hujan, tanpa diduga-duga kami terpeleset di tikungan setelah gerbang barat. Kebetulan jalan yang kami lewati memang bergelombang dan berpasir. Tapi siapa yang nyangka kalau bakal terpeleset begitu. Alhasil, kami pun mendapat oleh-oleh dari kejadian itu. Kalau teman saya mendapatkan luka di bibirnya, kalau saya mendapatkan luka dari lutut sampai betis dengan darah yang mengucur tanpa ampun. Mantap banget kan?

Setelah mengalami proses pengobatan yang panjang dan pastinya menghabiskan uang, saya sadar bahwa saya nggak akan bisa mengenakan celana panjang untuk beberapa hari ke depan, seenggaknya sampai luka ini kering. Saya pun memilih bolos kuliah selama satu minggu (keputusan ini murni diambil demi pemulihan luka saya, sekian).

Seminggu kemudian, saya muncul di kampus buat menghadiri kelas TPB. Inilah waktu ketika saya memutuskan memakai sarung. Perlu digarisbawahi, saya selalu menggunakan motor untuk ke kampus, jadi semua orang akan dapat dengan jelas melihat sarung yang saya gunakan. Pada saat saya melewati FISIP, ada beberapa orang yang geger dan kebingungan melihat saya. Sampai-sampai kepalanya terus menengok mengikuti laju motor saya sambil melongo keheranan, entah karena saya terlihat keren atau konyol (buat saya sih keren-keren saja). Anggap saja saya jadi kayak punya fans gara-gara pakai sarung. Duh!

Sesampainya di FIB, saya justru kaget karena orang-orang nggak ada yang memperhatikan sampai melongo kebingungan kayak orang-orang di sekitaran FISIP tadi. Mereka malah menanyakan kenapa saya menggunakan sarung dan ingin melihat bekas luka saya. Kalau di FISIP pakai sarung bikin saya diliatin, eh kalau di FIB malah bikin orang perhatian. Ternyata the power of pakai sarung nggak main-main. Aneh juga ya…

Anehnya lagi, dosen saya ternyata sempat mengalami hal yang sama. Iya, beliau pernah terjatuh juga dari motor di gerbang barat saat masih menjadi mahasiswa. Apakah ini tandanya saya kelak bakal jadi dosen juga? Kalau iya, pertandanya kenapa begini amat yak. Saya sampai luka-luka gini, euy.

Tapi kalau boleh jujur, saya senang sih karena masyarakat FIB nggak terlalu menghakimi orang dari penampilan mereka. Tetapi, tetap ada hal yang membuat saya kesal saat ber-sarung-ria di FIB. Hal itu adalah jumlah tangga yang kelewat banyak dan elevasi tanah yang sangat variatif. Sehingga pastinya mobilitas saya terganggu, sangat malah.

Saya harus bertatih-tatih saat menaiki dan menuruni tangga, apalagi pas harus bepergian dari Gedung C ke Pusat Studi Bahasa Jepang (PSBJ) yang jaraknya lumayan jauh. Untungnya sih nggak ada musibah lagi yang menimpa saya. Kan nggak lucu kalau saya ternyata jatuh lagi gara-gara pakai sarung saat ngelewatin daerah-daerah itu. Niat ber-sarung-ria biar cepat sembuh, masa ujung-ujungnya malah apes lagi. Amit-amit.

Saya merasa sangat beruntung karena penderitaan ber-sarung-ria itu hanya berlangsung selama satu minggu. Karena di minggu berikutnya, saya sudah menggunakan celana berbahan lemas, yaitu celana SMA yang membuat saya bernostalgia kembali, walaupun saya baru lulus beberapa bulan ke belakang. Tapi tetap, celana SMA ini nggak bisa ngalahin the power of pakai sarung.

Ternyata kejadian yang saya alami sampai luka lumayan parah itu nggak sepenuhnya musibah lah ya. Gara-gara ini, saya jadi punya “fans” dan diperhatiin orang-orang. Kalau kamu mau ngerasain dua hal itu, cara saya patut dicoba. Tapi sekalian sama harus jatuh dulu dong. Biar totalitas, hehe.

Editor: Tatiana Ramadhina
Ilustrator: Azka Nadyana

Subscribe
Notify of
guest

2 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
anak sasjer dah pokonya

WKWKWKWKWKWKWKWWKWKWK SERUU SUKA BGT

Sim Chung Wei

menarik,
untung ga ada yang mengira karena baru sunat?khitan

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran