Oleh Dzikri Maulana (Sastra Indonesia 2015)
“Di sisi jendela kamar, aku diam-diam berkelahi bersama perasaan, bersama hempasan angin malam,hingga akhirnya pergi mencari jawaban tentang rembulan dan cinta”
Dengan sekotak kado berwarna jingga serta disisipi sebuah surat kecoklatan, kukirim kepadamu sebuah rembulan, dengan cahaya keemasan, semilir angin malam, serta celotehan tukang sate malam-malam. Terimalah sebuah rembulan dariku, sebagai tanda cinta ingin memilikimu, Denia. Apakah kau masih ingat betul saat kita berjumpa? Atau kau sudah lupa saat kita berbagi tawa?
Kau harus tau saat aku merampas rembulan ini, Denia. nyatanya semua orang takut kehilangan Cahaya di Malamnya, tapi semua orang juga sibuk pada kehidupanya, berangkat pagi pulang pagi, sibuk dengan gadget ditanganya, sibuk dengan teman kantornya atau bahkan tak pernah memikirkan keindahan disampingnya. Aku muak. Denia. Aku sangat muak. mereka tak pernah melihat sekitar mereka, atau bahkan mereka takan pernah tau bahwa rembulan juga indah?
Mereka terlalu ribet terhadap kepentingan, keuangan bahkan kehidupan. kenapa dunia harus menciptakan orang kantoran? Kenapa dunia harus menciptakan kesibukan? Padahal hidup hanya untuk dinikmati. Dan kenapa mereka tak menginginkan untuk menikmati saja?
Mereka terlalu terbawa oleh suasana, oleh uang, oleh kekayaan, dan oleh kesibukan, itu alasanku Denia, alasan yang tak pernah kau pikirkan, alasan yang seringkali kau takan menyangkanya. Aku merampas Rembulan yang mereka tak pernah lihat keindahanya.
**
Setiap kali aku mencoba cocokan yang terindah, aku selalu kelabakan, Kamu atau Rembulan? Kamu atau Rembulan? Aku selalu bingung, kamu indah dan rembulan juga indah, kamu mempesona sedang rembulan juga mempesona, kamu menarik dan nyatanya rembulan juga menarik, jadi aku harus pilih yang mana? Setelah kehabisan akal, lebih baik aku pergi saja.
Mungkin dengan cara ini aku akan dapat memilih mana yang lebih indah, memilih mana yang mempesona atau bahkan memilih mana yang lebih menarik, Kamu atau Rembulan ya?
Kalau-kalau aku salah memilih mana yang lebih menarik, mungkin salah satu caranya aku harus merampasnya, aku harus berpikir dua kali memang, susah memilih, susah untuk memilih mana yang menarik dan mempesona, dan kamu nyatanya sama mempesona dengan rembulan Denia.
Baiklah agar surat ini tak terkesan mengada-ngada, aku akan menceritakan kepadamu tentang cara bagaimana aku bisa merampas rembulan. Malam yang dingin dengan cahaya remang-remang dari sinar rembulan, aku sedang menghibur diri dengan alunan senar gitar sambil mendendangkan lagu terbaik yang aku bisa Payung Teduh berjudul Resah entah berapa lama aku berdiam, mungkin 1 jam sampai dua jam yang pasti saat itu imajinasiku melayang-layang diudara, “Mungkin rembulan ini cocok, untuk kuberikan padamu” keluh aku saat itu, mungkin karena pikiranku saat itu dan mungkin ini sebagai bentuk pengorbanan kepada kekasihnya, saat itu juga aku tahu harus merampas rembulan itu, setiap malam tiba aku selalu menunggu dibalik jendela, menunggu sampai kapan rembulan ini bisa kurampas pada waktu yang tepat, sampai waktu yang benar-benar takan diketahui orang lain, aku diam-diam menunggu orang-orang selesai berkeliaran, menunggu tukang nasi goreng habis, menunggu saat tukang pecel lele beres membenahi segala peralatanya, menunggu saat lalu lintas sudah lengang dan tak ada satupun kendaraan.
Dari kaca jendela kamarku itu, bisa kulihat alagkah indahnya rembulan, sedang kejora menyelinap di setiap sisinya seraya menghiasi lapisan cakrawala tanpa sesekali terdengar ada kegaduhan disana, saat kulihat disela-sela jendelaku alangkah menakjubkanya rembulan dan aku berpikir, mungkin ini cocok untuk kau nikmati setiap malam Denia. mungkin ini cocok untuk menghiasi atap-atap dinding kamarmu, mungkin ini juga cocok untuk menamanimu saat kau tak bisa lagi berbicara kepadaku perihal segala kemunafikan dan kebohongan hidup, atau mungkin ini cocok sebagai salam rindu dariku yang selalu mengharapkanmu berada disisiku Denia.
Rembulan tiba-tiba menyelinap tanpa batas lalu menghilang digantinya segerombolan awan hitam yang menutupinya lalu hujan, “ah! Mungkin aku belum beruntung malam ini” keluhku satu dua malam terlewati tanpa rembulan, satu dua malam terhinggapi tanpa Cahaya, dan satu dua malam hanya sia-sia dengan kegelapan tanpa penerangan, mungkin Langit enggan menerima nantinya jika Cahaya satu-satunya dirampas, atau mungkin langit bersedih jikalau nantinya Cahaya itu hilang diambil karena akan diberikan kepada kekasih seseorang. Tapi langit ternyata tidak sejahat itu Denia, keesokan malam setelah menunggu sampai larut malam akhirnya Langit berubah warna, seraya dibisiki “Ambilah dan berilah kepada kekasihmu”
**
Aku tak pernah bisa mengerti Denia. terhadap hal-hal yang diluar pikiranku, aku tak pernah mengerti betul kenapa aku tiba-tiba segila ini, aku diam-diam merenggut Rembulan malam itu, aku sekat Rembulan yang berbentuk Bulan sabit itu menjadi tiga bagian lantas aku masukan kedalam lemari pakaianku, esok paginya karena cahanya yang remang-remang aku lantas memasukanya kedalam kardus dengan kulapisi oleh lipatan kain didalmnya, barangkali aku takut Rembulan itu lecet dan kau pastinya akan kecewa saat menerima Rembulan terindah yang aku beri ini nantinya, setelah kubungkus dan kurekat dengan alat perekat lalu kulapisi kardus itu dengan bungkus kado berwarna jingga, mungkin agar semua orang tak pernah tahu bahwa ada Rembulan didalamnya dan penerangan Rembulan itu takan bisa melampaui bungkus kado warna jingga itu.
Denia yang cantik dan masih akan selalu cantik. Kau mungkin takan pernah mengerti segala hal tentang perasaanku—tentang logikaku—tentang pikiranku tapi yang pasti aku hanya ingin memberikan ini, karena bagiku ini adalah hal yang paling orang lain ingin lakukan, mencuri keindahan demi mendapati keindahan lainya, mungkin hal ini yang paling juga orang lain ingin lakukan kepada kekasih pujaanya, mendapati keindahan dengan sebuah perjuangan agar kekasihnya tau bahwa dia sangat mencintainya. Kau mungkin akan menerimanya dengan senyuman bukan? Atau kau akan menerimanya dengan seuntai balasan surat rindu dan memujanya lantas mengatakan aku lelaki terhebat bukan?
Denia, demi rasa cinta dan rasa sayang dari lelaki yang sangat mencintaimu lebih dari sewajarnya dan lebih dari semestinya, terimalah sebuah Rembulan ini dariku, karena yang aku tahu kata-kata hanya seuntai kata tanpa makna, tapi melakukan segala hal tanpa kata-kata demi membahagiakan kekasihnya adalah bentuk dari pengorbanan cinta hakiki, dari tempat yang paling sunyi yang pernah kita lalui berdua.
Badrun
Jatinangor, 17 Januari 1998