Sastra adalah hasil kehidupan jiwa yang menjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota-anggota masyarakat itu. Sastra merupakan pengungkapan dari fakta artistik imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya efek positif terhadap kehidupan manusia. Definisi tersebut merupakan pengembangan dari definisi mimesis yang dikemukakan oleh Plato, bahwa sastra merupakan tiruan dari kehidupan.
Antologi cerpen Senja dan Cinta yang Berdarah karya Seno Gumira Ajidarma mengisahkan tentang persoalan antara masyarakat dengan lingkungannya. Kisah itu memuat bagaimana masyarakat menyikapi lingkungan sosialnya, dampak lingkungan sosial terhadap masyarakat, nilai-nilai sosial yang terdapat pada anggota masyarakat, dan sebagainya. Persoalan-persoalan yang diangkat ke dalam cerita merupakan persoalan yang nyata antara masyarakat dan lingkungannya. Lewat cerpennya pula, Seno mengutarakan pandangannya mengenai persoalan tersebut.
Satu dari sekian persoalan antara masyarakat dengan lingkungannya tersebut membahas mengenai gender dan seks. Gender dan seks identik dengan sosok perempuan. Persoalan mengenai perempuan merupakan tema yang kompleks. Apalagi menyangkut relasi antara perempuan dan laki-laki yang didalamnya terjadi ketimpangan membuat salah satu pihak berada pada pihak yang tersubordinasi. Dominasi kaum laki-laki yang dilegalisasi dalam sebuah sistem bernama patriarki.
Seno Gumira Ajidarma menghadirkan tema tersebut ke dalam cerpennya, antara lain “Si Kupu-Kupu”, “Malam Panjang No. 19”, “Dua Anak Kecil”, dan “Pelajaran Mengarang”. Keempat cerpen tersebut membahas mengenai gender dan seks.
Perempuan dalam keempat cerpen tersebut memiliki profesi yang sama sebagai seorang pelacur. Pengalaman dan perasaan sebagai seorang pelacur yang sama. Perempuan-perempuan ini menjadi pelacur karena terpaksa. Profesi sebagai pelacur bukanlah suatu hal yang dapat membawa kebahagiaan. Kesedihan, keperihan, kehinaan, kemeranaan, kesuraman, kederitaan, dan kemalangan mewarnai suasana keempat cerpen tersebut. Cerpen “Si Kupu-Kupu” menceritakan bahwa tokoh aku terpaksa menjadi seorang pelacur karena tokoh aku lahir di sebuah pulau bernama Andrea yang seluruh perempuan penduduk pulau itu berprofesi sebagai pelacur. Tokoh aku juga terpaksa menjadi pelacur karena keadaan yang susah dan merana, walaupun tidak diceritakan alasan mengapa ia bisa dalam keadaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Ia cuma tersenyum. Tentu saja tersenyum. Semua pelacur selalu mengatakan, “Karena terpaksa.” Padahal aku benar-benar terpaksa. Kau bisa membayangkan bagaimana rasanya tidur dengan lelaki yang belum pernah kita kenal. (Ajidarma, 2014:26)
Kemudian perhatikan kutipan berikut.
Seorang perempuan yang terlalu tidak penting. Tiada seorang pun tahu siapa dirinya. Bahkan dirinya pun tiada ingin mengetahui siapakah dirinya itu. Hanya sebuah nomor dibalik kaca. (Ajidarma, 2014:31)
Tokoh perempuan dalam cerpen “Malam Panjang No. 19” tidak memiliki identitas. Ia hanya memiliki sebuah julukan yang menggunakan nomor sebagai pengganti namanya. Ia mengalami pengasingan atas kualitasnya sebagai manusia. Perempuan tidak lagi memiliki kehormatan sebagai manusia dan tidak diperlakukan sebagai manusia.
Perempuan disamakan dengan binatang yang tidak memiliki perasaan, hati, ataupun keinginan lebih. Perempuan hanya dijadikan boneka pemuas nafsu saja. Pemuas nafsu yang tidak bisa melawan karena perempuan digambarkan begitu lemah dan tak berdaya. Sebagai contoh ketidakberdayaan itu, perempuan-perempuan yang tak mau membayar atau membagi hasil kepada pihak yang mengaku dirinya sebagai “pihak keamanan” harus mengalami rudapaksa.
Perempuan tidak kebagian aspek kehidupan apapun setelah seluruh bagian kehidupan hanya milik laki-laki. Bahkan tubuh perempuan pun bukan miliknya sendiri. Tubuh perempuan-perempuan ini adalah milik orang yang mampu membayar. Perempuan tidak memiliki apapun.
Profesi sebagai pelacur memiliki beragam konsekuensi, selain penyakit kelamin juga kehamilan. Bagi pelacur, kehamilan merupakan pertanda sial. Jalan keluar yang ditempuh hanya ada dua, aborsi atau tidak. Pilihan tersebut menentukan dirinya sebagai manusia. Seorang perempuan harus bergelut melawan lingkungan dan dirinya. Bila lingkungannya yang ia indahkan, maka ia harus mengaborsi anak dalam kandungannya. Seorang pelacur tentu tidak bisa melacur dalam keadaan hamil. Tak akan ada lelaki yang ingin menidurinya. Pilihan aborsi membuatnya menjadi manusia yang tidak berkemanusiaan. Sedangkan bila dirinya yang ia indahkan, ia harus menghidupi seorang anak tanpa sosok ayah. Pilihan melahirkannya membuat rasa kemanusiaannya tetap ada meskipun ia tak pantas disebut manusia.
Cerpen “Dua Anak Kecil” dan “Pelajaran Mengarang” mengisahkan dampak yang terjadi akibat persoalan antara manusia dengan lingkungannya. Anak-anak yang dilahirkan dari rahim seorang pelacur akan mengalami perbedaan sikap dari masyarakat. Masyarakat memandang anak ini sebagai anak haram yang rendah kedudukannya karena profesi ibunya, terlebih karena anak ini dilahirkan tanpa seorang ayah. Kepribadian anak pun tidak berkembang dengan baik akibat tekanan batin. Anak tidak bahagia karena mendapat perlakuan yang kasar dari ibunya, juga karena profesi ibunya. Kutipan berikut akan menegaskan kondisi anak seorang pelacur.
“Aku melihatnya hampir setiap hari Isti. Siang, sore, malam. Ibuku ditiduri kawan-kawannya main kartu yang laki-laki. Aku juga melihat kawan-kawannya main kartu yang perempuan tidur dengan kawan-kawan main kartunya yang laki-laki. Berganti-ganti. Kalau sedang menang ibuku tidak tidur. Tapi kalau kalah, ibuku tidur dengan kawannya yang main kartu. Aku juga ditampari ketika pertama kali melihat dan bertannya. Tapi aku selalu melihatnya lagi dan Ibu mungkin bosan memarahi aku. Ibu hanya tahu main kartu setiap hari.” (Ajidarma, 2014:272)
Meskipun tema yang diangkat adalah feminisme, kelaki-lakian Seno tetap hadir dalam tulisannya. Seno tidak bisa menceritakan perempuan sebagai mana mestinya, meskipun ia seorang feminist-friendly. Pengalaman perempuan dan perasaan perempuan tidak dialami oleh Seno. Bahasa Seno yang maskulin mereduksi identitas perempuan yang sebenarnya. Cerpen mengenai feminisme ini masih kental dengan subjektifitas penulis. Sastra boleh saja meniru kenyataan yang ada di dunia, tetapi sastra tetap sastra. Penulisan Seno dalam menceritakan kesengsaraan perempuan pelacur terlalu hiperbolis. Seno mungkin hanya seorang pengarang yang suka ngibul tentang para pelacur romantis tanpa benar-benar mengenalnya.