Masih teringat betul jalanan yang saya lalui di sekitaran masjid itu yang dipenuhi oleh pecahan kaca jendela dan batuan sebesar kepalan tangan. Di depan pintu setiap rumah terpampang tulisan: “Kami bagian dari Ahlussunnah wal Jamaah” guna menandai bahwa keluarga di balik pintu tersebut bukan bagian dari jamaah Ahmadiyah.
Hal mencekam ini terekam baik dalam benak saya yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Peristiwa ini akhirnya membuahkan pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali saya lontarkan kepada ibu: mengapa masjid yang notabene dianggap rumah Tuhan itu dihancurkan oleh (yang menganggap diri) bagian dari umat Islam sendiri? Bukannya Islam itu damai seperti yang selalu digaungkan dalam ceramah-ceramah?
Kejadian itu sudah lama terjadi, tiga belas tahun lalu. Penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Desa Sadasari, Majalengka ini lokasinya tidak begitu jauh dengan tempat saya tinggal, terpaut jarak kurang lebih dua kilometer. Hampir setiap hari setelah penyerbuan masjid Al Istiqomah, mereka selalu jadi isu yang digunjingkan di lingkungan saya.
“Wah ternyata peristiwa itu bikin pengalaman yang traumatis juga ya buat orang di luar Ahmadiyah?” tanya Muhaimin (36) salah seorang mubalig Ahmadiyah Solo. Saya mengangguk.
Muhaimin lantas mempersilahkan rombongan dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) untuk mencicipi kue serabi khas Solo yang dihidangkan di meja ruang pertemuan. Saya berkelakar kalau saya lebih suka serabi Sunda ketimbang Jawa. “Apalagi jika makannya di pagi hari, pakai telor, pas lagi dingin-dinginnya,” timpal Muhaimin.
Ia mengatakan bahwa ia aslinya berasal dari kabupaten yang sama dengan saya, dipisah oleh kecamatan saja. Bertemu dengan orang satu daerah membikin obrolan kami terasa lebih cair. Peristiwa pada tahun 2008 itu sama-sama mempunyai kesan mendalam bagi kami berdua.
Rentetan penyerangan yang terjadi pada di sekitaran tahun itu dapat ditelusuri sejak Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa pada tahun 2005 bahwa Ahmadiyah adalah sesat. Ormas Islam lain seperti Front Pembela Islam (FPI) sibuk membubarkan kelompok yang dianggap tak sepaham, termasuk Ahmadiyah. Ceramah-ceramah provokatif diikuti penyerbuan ke kantong-kantong komunitas Ahmadiyah acap kali terjadi.
“Ya sebenarnya Ahmadiyah dengan (ormas Islam) yang lain lebih banyak persamaannya,” kata Muhaimin dalam kesempatan lain, “sama Rukun Islamnya lima, kemudian Rukun Imannya enam. Perbedaan terletak pada beberapa penafsiran saja.” Ia lantas mengutip satu ayat dari Al Quran untuk kemudian menjelaskan hal tersebut lebih dalam.
Di awal tahun 2008 itu memang telah terjadi beberapa kali penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah Sadasari. Sikap warga yang menuntut dibubarkannya Ahmadiyah sebenarnya sudah ada sejak jauh-jauh hari. Dimulai dari diadakannya pertemuan yang dihadiri oleh Muspika setempat, ulama, perwakilan dari warga yang menolak, dan jamaah Ahmadiyah.
Pertemuan ini menghasilkan beberapa kesepakatan yang kentara diskriminatif seperti tidak diperbolehkannya jamaah melaksanakan peribadatan di masjid dan pelarangan acara-acara yang menyangkut Ahmadiyah.
Penyerangan di Sadasari ini nyatanya bukan satu-satunya kasus persekusi yang terjadi di tahun-tahun itu. Dilansir Kompas, Komnas HAM mencatat antara tahun 2007-2008 saja telah terjadi 342 kali aksi serangan terhadap warga Ahmadiyah.
Bermula Fatwa, Lanjut ke Persekusi
Komnas Perempuan dalam Laporan Pemantauan HAM Perempuan dan Anak Ahmadiyah: Korban Diskriminasi Berlapis, memaparkan penerapan tafsir MUI ini dalam aturan-aturan Pemerintah Daerah (Pemda) pada saat itu. Salah satu contohnya pada tahun 2007, Tasikmalaya melalui jajaran Pemdanya ikut memberi persepsi bahwa Ahmadiyah perlu untuk diawasi dan dibubarkan karena dianggap telah mengganggu ketertiban umum. Hal ini tercermin dari surat yang dikirim oleh Bupati Tasikmalaya kepada presiden mengenai Usulan Pembekuan Organisasi dan Jemaat Ahmadiyah tertanggal 4 Juli 2007.
Ihwal ini seorang Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Solo, Sugiman (58) mengatakan bahwa bebas saja sebenarnya tiap golongan membuat penafsirannya masing-masing. “Fatwa itu kan pendapat, tidak mempunyai kekuatan hukum, tapi itu jadi acuan (hukum di sini) masalahnya.”
Ia tersenyum, lantas melanjutkan, “kalo kita pengen tahu Ahmadiyah, tanyalah kepada orang Ahmadiyah. Pengen tahu tentang orang NU ya tanya orang NU dan seterusnya. Nah, selama ini yang terjadi mereka tahu tentang Ahmadiyah dari orang yang bukan Ahmadiyah, makanya timbul miss (salah paham)itu.”
Temuan Komnas Perempuan ini membeberkan ketakutan pemerintah terhadap opini masyarakat Islam arus utama yang akan berujung kemarahan bila hak-hak yang mestinya diterima oleh jamaah Ahmadiyah sebagai warga negara dimuluskan. Bebarengan dengan banyaknya penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di tahun 2008, terbit Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Perintah Terhadap Penganut Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). SKB ini bukannya memberi perlindungan tetapi terkesan cari aman saja.
“Padahal dalam tafsir yang diterbitkan MUI sendiri disebutkan bahwa umat jangan main hakim sendiri, tapi ya pada kenyataanya begitu,” tutur Sugiman.
Memang, di SKB Tiga Menteri saja dimuat poin mengenai warga yang merusuh akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan. Ketiadaan negara dalam kasus diskriminasi terbukti pula dalam peristiwa yang terjadi di Cikeusik sembilan tahun lalu. Dua belas tersangka pembunuh divonis paling banyak mendapat hukuman enam bulan penjara saja.
Pengusiran sekaligus penyerangan yang menewaskan tiga warga Ahmadiyah itu menambah daftar panjang diskriminasi yang dilakukan terhadap warga Ahmadiyah. “Kalo di Indonesia ya, itu yang paling sering terjadi itu di Jawa Barat,” ujar Sugiman.
Memang, kasus terakhir saja yang cukup menyita perhatian nasional terjadi di Kuningan, Jawa Barat pada 2017 lalu. Warga Ahmadiyah selama berpuluh tahun tidak bisa menerbitkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) lantaran desakan sebagian masyarakat kepada Pemda. Kasus ini menunjukkan bahwa persekusi yang terjadi akhirnya bersifat struktural. Pemda takut jika penerbitan KTP akan menimbulkan kemarahan massa.
Persekusi di Jawa Barat ini diamini oleh salah seorang Pengurus JAI Bandung, Denny (50). Pengalaman susahnya mendapat KTP sempat dirasakan pula oleh jamaah di Bandung Tengah, wilayah kerja kepengurusannya.
“Setelah SKB Tiga Menteri itu memang ada beberapa kelompok yang mencoba untuk mengurangi kegiatan-kegiatan (jamaah Ahmadiyah),” paparnya via telepon.
Menurutnya, ketidaktahuan atas poin-poin yang tercantum di SKB menjadi sebab utama banyaknya persekusi. “Di dalam SKB Tiga Menteri kan kita boleh melaksanakan ibadah, yang tidak boleh tuh kan menyiarkan (ajaran Ahmadiyah),” ujarnya berusaha memaklumi.
Persekusi yang terjadi terhadap warga Ahmadiyah ini seolah menafikkan fakta bahwa kehadiran komunitas ini telah mengiringi perjalanan Indonesia sejak 1925. Muhaimin dan Denny menjelaskan jika Ahmadiyah juga berpartisipasi dalam pergerakan nasional, bukan hanya jadi penonton saja. “Banyak tokoh-tokoh Ahmadiyah yang menjadi pejuang kemerdekaan,” imbuh Muhaimin.
Denny menjelaskan, kasus-kasus intoleransi mulai marak terjadi ketika masuk masa Reformasi. Fatwa MUI pada tahun 1985 di Munas II dan 2005 di Munas VI seolah menjadi legitimasi sebagian ormas untuk melakukan persekusi. Padahal sebelumnya Ahmadiyah relatif diterima oleh masyarakat.
“Dulu silang pendapat biasa diselesaikan dalam debat akademik dengan ormas-ormas lainnya seperti Persis, Muhamadiyah, dan NU,” tutur Kunto Sofianto (62), sejarawan yang menekuni penelitian tentang Ahmadiyah. Ia menambahkan, selama perdebatan berlangsung tidak ada penyerangan atau perlakuan diskriminatif lain dari peserta. Debat yang berlangsung sehat ini adalah wujud sikap toleran dari sebagain besar umat Islam pada saat itu.
Bukti toleransi yang paling konkret adalah terbitnya keputusan resmi dari rezim Sukarno untuk pendirian JAI pada tahun 1953. Di muka Gedung Pusat Dakwah JAI Solo, sebuah plang menuliskan catatan terbitnya keputusan pemerintah tersebut.
Tulisan di Atas Dinding
Pertama kali saya sampai di Gedung Pusat Dakwah JAI Solo, mata saya langsung tertuju pada tulisan yang tertempel di dinding aula pertemuan: Love for All, Hatred for None. Tulisannya ditempatkan lumayan tinggi dekat dengan langit-langit gedung. Plafon setinggi tiga meteran itu membikin saya merasa sejuk, Solo memang terlalu panas bagi saya yang terbiasa dengan udara Jatinangor.
Berbeda dengan hawa kotanya yang panas, agaknya warga Solo punya pembawaan yang lebih adem soal penerimaan terhadap Ahmadiyah. Jawa Tengah secara umum, khususnya Solo menjadi anomali tersendiri. Warga Ahmadiyah merasa diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. “Di Solo alhamdulillah bagus (tak ada persekusi),” kata Sugiman sumringah.
Muhaimin menjelaskan terakhir kali peristiwa penyerangan ke Gedung Pusat Dakwah Ahmadiyah, tak sampai ada korban atau bahkan kerusakan berarti. Hanya gerbang di depan gedung itu mesti ditutup rapat karena didesak massa yang berdemo pasca ditekennya SKB Tiga Menteri. Untungnya pihak berwenang sigap berjaga-jaga di sekitar situ.
“Besoknya justru ibu-ibu warga sekitar yang membuka gerbang di depan,” Muhaimin tersenyum ketika mengingat-ngingat cerita ini. Di depan gedung itu memang terdapat lapangan yang cukup luas yang kerap digunakan ibu-ibu untuk senam sekaligus menjadi tempat bermain anak-anak di daerah itu. Saban pemilihan umum, tempat itu disulap menjadi lokasi pencoblosan.
Tak jauh beda dengan di Solo, di Bandung hampir terjadi hal yang sama. Ada pihak luar yang mengompori warga untuk melakukan penyerangan. Namun, hubungan yang terjalin baik antara jamaah Ahmadiyah dengan masyarakat membuat penyerangan itu urung dilakukan. Menurut Denny, partisipasi Ahmadiyah dalam kegiatan-kegiatan warga ampuh menumbuhkan sikap yang toleran dari masyarakat sekitar.
Kebencian yang kerap diterima orang-orang Ahmadiyah ini dibalas dengan hal-hal baik. Minimalnya tercermin dalam hubungan komunitas ini dengan masyarakat. Interaksi harian macam pemakaian lapangan buat senam sedikitnya dapat membina hubungan yang harmonis. Lainnya lagi banyak kegiatan sosial yang rutin diadakan komunitas ini.
Salah satu yang cukup dikenal, warga Ahmadiyah sering mendaftarkan diri sebagai pendonor. Yang paling rutin tentu donor darah, lainnya donor mata. Prosedurnya cukup sederhana, semasa hidup calon pendonor menandatangani semacam surat kesediaan menjadi pendonor. Lantas ketika meninggal diambillah kornea matanya oleh organisasi donor terkait. Tercatat banyak warga JAI yang menjadi pendonor kornea ini.
“Ini kan bagian dari kemanusian, sosial. Ya kalo kita berbuat baik, lillahi ta’ala saja,” ujar Sugiman.
Upaya warga Ahmadiyah untuk membina hubungan baik dengan masyarakat pada akhirnya tetap menemui kesulitan jika kebijakan diskriminatif belum juga dibenahi. Salah satunya adalah SKB Tiga Menteri yang terbit pada tahun 2008 itu. Kebijakan ini masih menjadi ganjalan untuk Ahmadiyah. Bagi Muhaimin, SKB ini menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik di masyarakat. Dicabutnya surat keputusan ini menjadi salah satu upaya pemerintah yang ditunggu-tunggu Muhaimin agar tidak ada lagi persekusi.
Sementara itu dalam kesempatan lain Sugiman menutup wawancara dengan harapan yang tidak muluk-muluk, “kita ingin semuanya hidup berdampingan, kita ingin semuanya rukun.”
Tindakan tegas kepada pihak-pihak yang melakukan persekusi mutlak dilakukan untuk mewujudkan keadilan hukum, soal ini Denny menyerahkannya kepada pemerintah saja. Ia mengatakan hal tersebut tak hanya berlaku buat Ahmadiyah tetapi juga buat seluruh warga negara.
“(Yang jelas) Kami takkan melawan kekerasan dengan kekerasan,” tandas Denny. Betapapun sulitnya kondisi jamaah di beberapa daerah yang masih terjadi, ketiga orang ini menegaskan bahwa warga Ahmadiyah akan selalu berpegang pada motto di dinding ruang pertemuan: cinta untuk semuanya, tak ada kebencian.
Ah, andai saja pesan sesederhana itu diterapkan semua orang, takkan ada kaca-kaca masjid yang berserakan. Bebatuan bukannya lebih baik buat dipakai memperbaiki rumah-rumah? Kengerian penyerangan bukan lagi hal yang dibanggakan dalam ceramah-ceramah masjid, apalagi buat dibayangkan oleh seorang bocah SD.
Bukankah itu lebih terasa damai?
***
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Editor: Fajar Hikmatiar