Petasan, Budaya Konsumtif yang Menawarkan Kebahagiaan Semu

Fajar Hikmatiar
666 views
Kebahagiaan semu saat bermain petasan
','

' ); } ?>

Di bulan Ramadan ini, petasan derajatnya sudah sama seperti daging sapi alias menjadi salah satu komoditas yang ramai diperdagangkan. Di tiap-tiap pinggir jalanan, ramai berjejer mamang-mamang penjual petasan yang menjajakan dagangannya. Luasnya target pasar membuat petasan ini menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan. 

Meskipun begitu, menurut saya petasan tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebuah tradisi pemborosan yang nirfaedah. Dengan harga rata-rata di atas 10 ribu rupiah, rasanya melipir ke warkop atau restoran Padang lebih nikmat daripada membeli petasan.  Yhaa, tentunya melipirnya bukan tengah hari bolong di bulan puasa, dong. Hehehe. 

Saya kadang heran dengan orang-orang yang bersemangat menyalakan petasan atau kembang api di malam Ramadan, malam takbir, atau bahkan malam tahun baru. Maksudnya begini, untuk konsep petasan itu saja saya tidak mengerti. Orang membeli petasan dengan harga puluhan ribu, lalu membakarnya, kemudian meledak. Sudah? Iya sudah. Terus apa lagi? 

Selain itu, bunyi ledakan yang dihasilkan pun homogen, tidak variatif. Hanya “Dhuaaaar” lalu selesai. Paling-paling ditambahi ‘sampiran’ sebelum ledakan yang berbeda tergantung jenis petasan.  Maksudnya, kalau ingin terkesan unik dan menarik perhatian, yha gimana caranya gitu dibuat variasi suara ledakan yang aneh-aneh dan lucu. Seperti, “Cuwiwiwiwwww” khas pendekar di film Cina sebagai aba-aba untuk mengeluarkan jurus. 

Respon orang yang melihat petasan meledak pun membuat saya bingung. Mereka seakan-akan terkagum-kagum, terkesima melalui respon “Waaaaaah” yang pada sesuatu yang menurut saya biasa saja. Mereka menganggap ledakan petasan itu indah. Padahal masih lebih indah momen aku melihatmu duduk di teras depan, memakai daster dan roll rambut sembari menungguku yang sedang menyirami tanaman. Hiyaaaa~

Hal lain yang menurut saya aneh adalah orang-orang yang suka merekam kembang api di langit malam. Buat apa coba? Kalau sudah direkam, video rekamannya mau dibuat bagaimana? flexing ke orang-orang kah? atau justru bunyi-bunyian itu dihafal untuk bikin konten dubbing video pesta kembang api?

Untuk konsep petasan yang dinyalakan dengan kepentingan menyambut besan atau penganten sunat masih boleh lah dimengerti. Lha ini, tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ada sesuatu meledak di luar rumah.

Bukannya apa, jujur seringkali saya merasa terganggu dengan kebisingan petasan yang suaranya tidak variatif itu. Sering kali ketika saya sedang merasakan kenikmatan tidur siang yang jarang didapatkan, tetiba terbangun karena ada bocil-bocil yang menyalakan petasan di depan rumah. 

Sebagai orang yang rumahnya terletak di dalam gang, tentu petasan itu terdengar amat nyaring. Rasa-rasanya saya ingin membuat para bocil itu membeli korek melulu alias saya rampas koreknya. Mereka jadinya kapok, saya mendapatkan korek baru untuk pengganti korek yang sering hilang di tongkrongan. 

Saya mengakui kalau ketika kecil pun saya sering bermain petasan. Tapi dewasa ini saya menjadi lebih mengerti kalau petasan itu nirguna dan hanya menawarkan kebahagiaan yang semu, fana, dan lebih banyak kerugiannya. Saya jadi mengerti kenapa Ibu saya sering marah ketika saya membeli petasan ketika saya kecil. 

Tetapi saya bingung melihat orang-orang, terutama tetangga saya, yang sudah tua tetapi tetap gemar menyalakan kembang api. Yha mungkin mereka kebanyakan uang, tapi sepertinya daripada dibelikan petasan dan mengganggu saya, mending uangnya diberikan ke saya untuk beli bensin dan saya pakai motoran ke Purwokerto. hahaha. 

Sudah banyak berita mengenai bencana yang ditimbulkan dari petasan. Dari bermula mencari bahagia dengan ‘bakar uang’, lalu berakhir dengan tangan dan rumah yang terbakar. Iya betul, seperti menyeret tubuh sendiri ke neraka. Jadi, yha begitulah hasil observasi saya soal fenomena petasan bermodal pertanyaan-pertanyaan random yang muncul di benak saya.

Saya menarik benang merah bahwa petasan itu nirguna dan nirfaedah. Malah membuat bising dan (mungkin) akan menciptakan bibit-bibit terorisme. Suka tidak suka dan setuju tidak setuju, ini pendapat saya. Tapi jika ingin lebih valid, mari menunggu tanggapan Lesti soal fenomena petasan ini.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran