Senin (15/02) Presiden Jokowi menyampaikan pidato tentang revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dalam pidatonya beliau menginginkan adanya revisi terhadap undang-undang tersebut dikarenakan adanya ketidakadilan terhadap masyarakat dan adanya pasal-pasal karet yang terkandung dalam undang-undang tersebut.
Beliau pun meminta terhadap Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk lebih selektif dan hati-hati dalam menangani kasus terkait undang-undang ITE yang dalam pasal-pasalnya sering menimbulkan multitafsir. Hal ini seakan menjadi jawaban pemerintah terhadap kritik yang datang dari dalam negeri dan dunia internasional terhadap turunnya indeks demokrasi di Indonesia.
The Economist Intelligence Unit (EIU) menempatkan Indonesia di peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU, ini merupakan peringkat terendah Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir, yang mana membuktikan jika demokrasi di Indonesia masih harus ditingkatkan dan diperbaiki. Karyono Wibowo selaku Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute menyampaikan jika laporan ini harus membuat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi agar ke depannya demokrasi Indonesia dapat lebih baik.
“Pelaksanaan Pemilu misalnya perlu diperbaiki. Sejumlah hambatan dalam pelaksanaan pemilu seperti money politic itu juga harus dicegah. Terkait intimidasi dalam pelaksanaan pemilu juga harus dicegah. Terkait dengan intimidasi dalam pelaksanaan pemilu juga harus dicegah. Kongkalikong antara penyelenggara pemilu dengan kontestan itu juga harus dihindari,” ujar Karyono kepada DW Indonesia, Kamis (04/02) siang.
Selain dari indeks yang dirilis EIU, kecacatan UU ITE juga dapat dilihat dari banyaknya kasus yang masuk dan dilaporkan ke polisi, sebut saja kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer yang dipenjara dan dijatuhi hukuman kurungan selama enam bulan dan denda senilai RP 500jt atas penyebarluasan dokumen elektronik bermuatan pelanggaran asusila sebagaimana pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ia seakan dikriminalisasi dengan pasal tersebut, yang di mana aslinya dia adalah korban pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan oleh kepala sekolah SMAN 7 Mataram, yang berinisial M. Walaupun pada akhirnya setelah menjalani kurungan selama dua bulan ia mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo dan DPR. Selain dari kasus Baiq Nuril masih banyak lagi kasus-kasus yang janggal dari penggunaan UU ITE.
Sebagian pengamat dan aktivis beranggapan revisi terhadap Undang-Undang tersebut sangat diperlukan karena banyak sekali mengandung pasal-pasal karet dan pasal-pasal yang multitafsir. UU ITE juga kerap kali menjadi tameng bagi sebagian pihak yang anti-kritik dan terkesan mengekang pendapat. Namun, sebagian pengamat lain mengatakan rencana revisi UU ITE menimbulkan kecurigaan publik.
Mereka beranggapan bahwa rencana revisi UU ITE baru digulirkan setelah ada sebagian pihak di kalangan pemerintah yang mulai terusik dengan adanya ‘pasal tidak sehat’ dalam UU ITE. Terkhusus dalam pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Sementara pegiat hak asasi manusia (HAM), Haris Azhar dalam akun twitternya menyatakan, untuk revisi UU ITE perlu dibuktikan niat baik tersebut dengan membebaskan mereka yang dikriminalisasi dengan pidana ITE. Saat ini banyak sekali jurnalis, aktivis dan pegiat kebebasan sipil yang menjadi korban kriminalisasi dengan menggunakan pidana UU ITE. Biasanya berani mengkritik menjadi seakan takut dengan hadirnya UU ITE, dalam penerapanya undang-undang ini banyak sekali menimbulkan korban-korban kriminalisasi hanya karena mereka berani berbicara dan berani mengkritik.
Iklim demokrasi Indonesia berada di kondisi yang memprihatinkan karena terkurungnya ruang bicara masyarakat terhadap pemerintah dan kebebasan sipil. Revisi yang akan dilakukan pemerintah seharusnya dilaksanakan jauh sebelum terbitnya laporan EIU mengenai indeks demokrasi, karena seakan pemerintah menunjukan jika mereka mendengarkan aspirasi rakyat walau setelah banyaknya kasus-kasus dan peristiwa yang terjadi.
Berjudi dengan undang-undang memang sudah umum, tapi apakah kita mampu dan berani menerima risiko yang akan datang di kemudian hari dengan perjudian yang kita lakukan sekarang? Apakah benar revisi yang dilakukan pemerintah akan membuat kita bebas mengkritik pemerintah atau justru malah semakin membuat kita mudah terjerat ke dalam jebakan UU ITE? (Muhammad Fadhlan Rusyada/ Fajar Hikmatiar)
Sumber: CNN, Detik, Tempo