“Mengapa benda mati disebut sesuatu yang mati? Terkadang mereka lebih ‘hidup’ dan lebih jujur memberikan saksi.” – Leila S. Chudori, Pulang
Kalau beberapa tahun yang lalu kamu datang ke kampus Fakultas Ilmu Budaya Unpad dan menumpang bus Damri Bandung-Jatinangor, kamu pasti akan berhenti di pelataran dekat gedung B, melihat banyak pohon bertebaran penuh rindang yang menjaga sergapan matahari yang kadang menyilaukan.
Maka kira-kira jika kamu berjalan kaki lebih dalam menapaki trotoar-trotoar fakultas yang begajulan, sampailah di sebuah persimpangan. Pada simpang kecil setelah gedung B yang berhimpit dengan parkiran motor itu, membeloklah ke kanan. Dan di situ kamu akan melihat sebuah panggung besar yang bangku penontonnya berwarna biru dan ditumbuhi sedikit rerumputan, yang kadang sedikit berbau alkohol. Di ujung tangga sebelah kiri dari panggung, kamu akan melihat sebuah Pohon Agam Tua bertengger sendirian.
Dan di pelataran pohon itu, kamu kadang akan melihat beberapa orang yang duduk di sana. Bercengkrama dan sekadar mengobrol-ngobrol membunuh waktu masing-masing. Di situlah kadang pertemuan penting dan yang dianggap tidak penting diadakan. Dialog-dialog mesra penuh cabul atau ungkapan penuh kata-kata ndakik yang sulit dimengerti bersemai di pelataran pohon bersama daun-daun yang mulai berguguran.
Banyak orang yang begitu betah untuk duduk dan berdiam di bawah pohon itu. Entah karena seonggok kehangatan yang tercipta tanpa sebab yang jelas, atau memang pohon itu menciptakan sesuatu yang magis dan tak pernah bisa dijelaskan oleh siapa pun, bahkan oleh seseorang yang akhirnya ketika itu iseng untuk memberi nama pohon itu dengan sebutan “Pohon Bodhi”.
Awal Sebuah Nama
Suatu kali ada dua orang mahasiswa, si kurus dan si gendut yang mukanya bersungut-sungut sehabis kelas usai. Mungkin mereka berdua habis berdebat soal perkara yang serius di kelasnya. Ocehan yang sebermula berada di kelas, akhirnya bermuara di bawah pohon tua yang rindang. Mereka berdua duduk-duduk di sana dan membicarakan apa-apa yang sebelumnya didiskusikan dalam kelas.
Mereka memperbincangkan Mahabharata—Ramayana, hingga akhirnya melebar ke soal pengaruh Hindu—Buddha dalam sastra Indonesia, studi yang mereka sedang pelajari. Mungkin pohon itu membisikkan sesuatu kepada mereka melalui angin-angin yang berhembus. Hingga akhirnya pada suatu titik mereka membicarakan tentang Pohon Bodhi, tentang pencerahan Siddhartha Gautama di bawah pohon itu. Dan, entah si mahasiswa kurus atau si mahasiswa gendut, salah satu dari mereka dengan spontan menyeletuk, “Mulai sekarang kita sebut pohon ini dengan nama pohon bodhi!”
Mahasiswa kurus itu bernama Lutfi Mardiansyah, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia 2009 yang entah karena suatu kebetulan, saya temui di laman Facebook saya beberapa bulan lalu tak lama setelah saya mendengar pohon yang juga kebetulan secara iseng ia namai itu roboh. Dan mahasiswa gendut itu bernama Yudha, temannya.
Bagi Lutfi, meskipun pohon bodhi hanyalah sekadar pohon biasa, pohon ini memberikan kenangan yang begitu membekas. Tak jarang ketika ia mengunjungi kampus setelah lulus pada tahun 2013, ia selalu menyempatkan diri untuk duduk-duduk di bawah pohon itu. Dari mulai nongkrong bersama teman-temannya, pacaran, mabuk di situ, sampai meratapi nasib di situ pula lantaran belum mendapatkan uang transferan dari orang tuanya, semuanya disaksikan secara bisu oleh si pohon itu.
“Selain memiliki banyak kenangan, pohon ini lokasinya strategis. Dari sana kita bisa melihat sudut-sudut di FIB, melihat orang latihan teater di Blue Stage, deket ke sekre Gelanggang, dan bisa melihat berbagai langkah kaki anak-anak FIB hanya dengan duduk-duduk di sana.” kata Lutfi melalui Whatsapp.
Hingga saat ini—setidaknya sebelum pohon itu roboh—pohon itu masih bernama dan akrab di telinga-telinga mahasiswa FIB atau bahkan di luar mahasiswa FIB yang sekadar sering menghabiskan waktu luangnya di fakultas yang banyak pohonnya ini.
Penamaan yang kekal hingga hampir sepuluh tahun lamanya ini bisa dibilang disebabkan pengulangan nama dari mulut ke mulut hingga menjadi pembuktian bahwa sejarah kolektif itu tercipta dari sejarah personal, sejarah si mahasiswa kurus dan si mahasiswa gendut.
“Pohon bodhi sekarang udah jadi bagian dari sejarah kolektif, sejarah milik fakultas itu dan mahasiswanya, tapi sejarah kolektif itu berawal dari sejarah personal—sejarahku, sejarah Yudha, sejarah kami berdua.”
Sekalipun ia menegaskan bahwa penamaan itu hanyalah iseng belaka, ia memiliki harapan sendiri, bahwa seperti Buddha Gautama yang mendapatkan pencerahan di bawah Pohon Bodhi, moga-moga mahasiswa di kampus juga bisa dapat pencerahan berupa ilmu atau apa-apa yang membuat mereka bisa senang dan terbebas dari hiruk pikuk kelas yang memekakkan. Hal-hal kecil dan menyenangkan itu sendiri adalah bentuk lain dari pencerahan bukan? Tidak perlu yang serius-serius untuk memperkaya pikiran, jika hati kering kerontang, apapun itu yang masuk ke otak tidak akan bisa tercerahkan.
Kini, Lutfi memiliki kesibukan mengelola penerbitan di Penerbit Trubadur dan jadi penerjemah lepas yang kebanyakan menerjemahkan buku-buku sastra luar.
Pandemi dan Peristiwa Berlalu Beku
“Pohon bodhi adalah tempat terakhir saya menginjakkan kaki di kampus sebelum akhirnya pandemi hadir merobohkan pohon itu” ujar Fajrina Iskandar, salah satu mahasiswa FIB yang juga memiliki ikatan kenangan kolektif bersama si pohon tua itu.
Pandemi agaknya memang memisahkan kita semua, termasuk ikatan kita dengan Pohon Bodhi. Ikatan kolektif yang sama-sama tumbuh, kini roboh sudah. Saya membayangkan bagaimana suara ketika pohon itu tumbang. Mungkin tidak akan terdengar ‘gedubrak!’ ‘brok!’ ‘bruk!’ tapi tangisan-tangisan yang tidak satu frekuensi dengan apa-apa yang bisa didengar telinga manusia. Saksi bisu bagi kenangan-kenangan yang bersemai di bawah pohon itu sirna sudah, tercerabut sampai akar-akarnya.
Ketika semuanya hilang, apa-apa yang bisa kita lakukan hanyalah mengenang dan sesekali menyesal. Pandemi mencekik kita dari dalam. Kita dipertontonkan kematian dan rantai kehilangan yang tak putus-putus. Kita terpaksa menghibur diri dengan kekonyolan negara yang seolah-olah memaksa kita tertawa dan berbahagia, ketika perut-perut mulai keronta dan bencana yang siap sergap menanti melumat kita.
Kini, lagi dan lagi, selain harapan yang mulai pudar, yang kita bisa lakukan sekarang hanyalah mengenang dan mengenang sambil meringkuk di bilik kamar, di dalam rumah, apapun bentuk dan arti rumah itu.
Editor: Tatiana Ramadhina