Ruang Agora dan Diskusi Pertama Kastrat FIB: Menilik Hakikat Demokrasi di Ranah Virtual

Iqbal Maulana
986 views
','

' ); } ?>

Pena Budaya—BEM Gama FIB Unpad beberapa waktu lalu meluncurkan sebuah program baru yang diberi nama Ruang Agora. Program ini adalah akronim dari Ruang Afirmasi Gagasan Humaniora, yang merupakan media resmi Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM Gama FIB Unpad yang berbasis di berbagai platform media sosial.

Kehadiran Ruang Agora di media sosial merupakan bentuk adaptasi Kastrat BEM Gama FIB Unpad terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mengharuskan setiap orang untuk senantiasa aktif di dunia digital. Raka Putra Pratama selaku Wakil Departemen Kastrat BEM Gama FIB Unpad mengatakan bahwa, dunia digital menjadi ruang sosial baru bagi masyarakat yang bisa menjadi alat efektif dalam melakukan pergerakan.

“Ruang Agora dibentuk sebagai alat pergerakan yang komunikatif dan dapat menjadi media efektif untuk melakukan berbagai propaganda. Propaganda tersebut kami tujukan untuk meningkatkan wacana kritis, khususnya untuk mahasiswa FIB,” kata Raka kepada Pena Budaya, Sabtu (20/2).

Untuk merealisasikan propaganda tersebut, Kasrat BEM Gama FIB telah mengadakan Ruang Publik yang pertama kali terlaksana pada hari Minggu (21/2) kemarin yang nantinya akan diadakan di setiap bulannya oleh Ruang Agora. Ruang Publik bertajuk “Demokrasi di Media Sosial” tersebut membahas tentang proses dan bentuk demokrasi di jagat maya berdasarkan perspektif filsafat dan hukum.

Menurut Raka, topik “Demokrasi di Media Sosial” merujuk kepada kondisi nasional dan bangsa kita saat ini. Melalui media sosial, setiap orang dapat mengemukakan pendapat dan menyampaikan kritik di ranah publik secara bebas. Kebebasan tersebut menjadi salah satu instrumen yang mendukung terciptanya demokrasi di jagat maya.

Akan tetapi, kebebasan tersebut kini terkekang dengan adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat mereka, yang lantang mengkritik—terutama melalui media sosial. Oleh karena itu, dengan adanya diskusi mengenai demokrasi di media sosial ini, masyarakat FIB diharapkan dapat memahami hakikat demokrasi digital kontemporer, sehingga dapat lebih bijak berdemokrasi di era digital.

Ruang Publik pertama membahas demokrasi di era digital berdasarkan perspektif filsafat dan hukum. Berdasarkan kajian filsafat, media sosial sebagai salah satu platform demokrasi merupakan bentuk dari ranah publik. Ranah publik sendiri merupakan ruang atau tempat di mana orang-orang dapat berdiskusi mengungkapkan gagasannya secara bebas dan tanpa campur tangan pihak tertentu.

“Ranah publik itu sebenarnya tidak perlu ada campur tangan negara. Di sana, kita bebas membicarakan apa pun tanpa dibatasi oleh siapa pun. Misalnya, tidak ada yang menyalahkan jika ngomongin marxisme di Starbucks,” ujar Syarif Maulana selaku pembicara dalam diskusi Ruang Publik Agora pada Minggu (21/2).

Kebebasan ranah publik di dalam media sosial yang tanpa memandang siapa dan apa yang dibicarakan, membuat akun anonim sekalipun bisa ikut memeriahkan demokrasi. Akan tetapi, corak demokrasi di dalam ranah publik virtual cenderung bersifat reaksioner, yakni hanya berupa obrolan tanpa aksi yang nyata. Hal ini membuat corak demokrasi negara ini menjadi tidak revolusioner.

“Dalam ranah virtual, demokrasi dapat kita lakukan melalui kritik yang sehat dan menggunakan diksi yang tepat,” ujar Syarif. Oleh karena itu, demokrasi virtual harus begitu disikapi dengan bijaksana. Dengan emosi yang terjaga, juga dengan pikiran yang dingin.

Editor: Tatiana Ramadhina

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran