Ilustrasi oleh: Salma HZ
Senayan, 24 September 2019
Aku tidak pernah ingin putus, apalagi menjelang demonstrasi besar-besaran dari banyak BEM berbagai universitas. Saat kami para almamater kuning mulai bergerak, kulihat bus asal Bandung baru datang. Mereka cepat-cepat memasang almamater biru dongker dan melakukan pengarahan. Kami menyanyikan lagu “Halo Halo Bandung” yang lambat laun kalian ikuti. Mustahil bagiku, Ran, untuk menemukanmu secepat itu. Ada ribuan mahasiswa dari berbagai universitas dan almamater biru dongker yang bukan hanya dari kampusmu. Sambil maju menuju gedung DPR RI, pikiranku malah mundur kepada kumpulan mahasiswa dari kampusmu yang salah satu demonstrannya telah memutuskanku dua hari yang lalu.
Aku bukan presiden mahasiswa, Ran. Bukan pula kordinator lapangan. Aku bisa saja melepas almamater dan berlari ke arahmu atau diam-diam menaiki pohon, mencari, dan memantau apa kau baik-baik saja. Aku menyesal, mengapa aku tidak duduk di sebelah mahasiswa yang berdandan seperti Yesus dan menjadi pusat perhatian para demonstran saat itu? Jika begitu, mungkin kau akan melihatku juga, kan? Tapi aku tetap bersyukur menjadi mahasiswa biasa, dapat melarikan diri kepadamu seperti rencana kita semula. Sebelum kau memutuskanku begitu saja.
Kami sangat dekat dengan gedung DPR RI, dan kupastikan bahwa almamatermu masih jauh dari hadapan gedung ini. Aku agak lega kau terjaga jika sewaktu-waktu ada gas air mata. Kuoleskan pasta gigi ke beberapa bagian wajahku dan berharap kau juga sudah memakainya. Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia! Hidup rakyat Indonesia! Hidup perempuan Indonesia! Hidup perempuan Indonesia—hidup hubungan kita—tambahku dalam hati. Aku tau, otakku mulai tidak waras karena semua revisi undang-undang juga revisi hubungan kita yang begitu dadakan.
Hari itu, saat aku menemani teman yang berlatih orasi, kau menelpon tiba-tiba dan aku mengangkatnya gembira. Kau bilang seharian itu kau suntuk karena di Twitter ada beberapa oknum yang mendukung gerakan pemerintah. Aku katakan bahwa itu hanya sampah, besok lusa kita akan memenuhi Senayan dengan suara yang sama, kuminta agar kau tak pasrah. Kau juga mengeluh, katanya beberapa dosenmu tidak menandatangani petisi mendukung aksi, kau kecewa dan kita terus berdiskusi. Aku sampai melupakan temanku yang sedang berlatih orasi.
Kita putus, katamu. Lalu tiba-tiba semua media sosialku diblokir, aku kesulitan setengah mati mencari cara untuk menghubungimu. Semalaman aku berdiam diri, berpikir apa ada salah dalam kata-kataku yang membuatmu bertambah kesal? Kuketuk beberapa pintu indekos temanku dan menanyakan hal ini. Mereka bilang, aku tidak salah, mungkin kau hanya sedang gelisah. Ranti, kutunggu kau di Senayan untuk menyuarakan hak-hak kita dan cacatnya revisi. Kutunggu kau untuk mengatakan padaku alasan apa yang membuatmu memutuskanku seperti ini. Tapi nanti dulu, mari kita sama-sama berdemonstrasi untuk merealisasikan opini-opini kita di setiap malam sebelum akhirnya kau pergi.
Sekitar pukul empat sore, gas air mata mulai terkena mahasiswa. Para mahasiswi dari almamater kami diarahkan ke belakang dan aku menjadi salah satu pengarahnya. Aku terkena sedikit gas dan sambil menahan perih kulihat beberapa mahasiswi dari almamatermu sedang dievakuasi sambil berpegangan erat dari tangan ke tangan. Kau akan aman, batinku. Dua puluh menit mereda, nyatanya ada oknum sialan yang membuat keadaan makin ricuh. Keadaan mulai tidak terkendali, asap, umpatan, teriakan, tubrukan, hampir banyak kekacauan di mana-mana. Ini semua persis seperti foto-foto tahun ‘98 yang beredar, dan kita berdua adalah bagian darinya.
Mahasiswi almamaterku sudah cukup terkendali, kulihat beberapa mahasiswi kampus Bandung mulai terpisah rombongan. Mahasiswa saling dorong dan ricuh akibat oknum sialan, beberapa temanku terluka dan pingsan. Mau tau bagaimana perasaanku saat itu? Keringat mengucur di seluruh bagian tubuh, mata berkunang akibat kurang minum, perasaan sakit terguncang akibat kekacauan negeri ini, dan cintaku dipatahkan oleh kamu yang sudah sejajar dengan DPR, berlaku sewenang-wenang dalam hubungan kita. Aku kelelahan dan menekuk lutut di samping huru-hara yang semakin membabi buta. Seorang mahasiwa beralmamater hijau melemparkan sebotol air minum padaku, dengan segera aku meneguk hampir setengah botol dan kukembalikan. Aku bangkit lagi, Ran. Aku diarahkan untuk membantu yang lain, salah satunya para mahasiswi almamater Bandung. “Pegangan tangan jangan sampai putus, semuanya menuju Stadion GBK,” ujarku. Beberapa mahasisiwi lari cepat, salah satu tertarik paksa dan terjatuh. Lututnya pasti luka, kudatangi ia dan kuulurkan tanganku. Ranti, harusnya kubawa saja kau kabur saat itu.
“Ranti,” ujarku.
“Rian?” kau terdiam beberapa detik dan ikut lagi tertarik bersama mahasiswi lainnya menuju GBK. Aku masih terdiam seribu bahasa.
Keparat semua oknum ricuh sialan itu. lebih keparat lagi yang memasang cincin tunangan di jari pacarku. (Rahel/Zai)
Jatinangor, 16 Oktober 2019