“Tiada tanda yang tampak bagimu.”
—
Cerita cinta memang rasanya tidak bisa dilepaskan dari keseharian hidup manusia. Hampir tiap insan mengetahui pasti tentang cinta. Beberapa pernah mencecapnya dan berakhir bahagia, sedangkan beberapa yang lain terpaksa berpuas diri dengan sengsara, lalu berakhir nelangsa. Sebagai sesuatu yang abstrak, cinta memang dapat datang dan dialami oleh siapa saja, entah itu sepasang manusia atau bahkan manusia dengan dirinya sendiri. Teater Djati berusaha mengeksplorasi berbagai kisah asmara yang kerap dijumpai dalam keseharian hidup manusia. “Seperti Hendak” hadir untuk menggambarkannya.
Di tengah jutaan kisah cinta yang tampak di dunia, “Seperti Hendak” menghadirkan delapan fragmen sebagai representasi atas cerita asmara yang kerap menyelimuti hubungan manusia. Tak berpuas dengan yang menye–menye, a la FTV, atau pasti berakhir bahagia, Teater Djati menampilkan rangkaian adegan dengan eksplorasi simbolik yang sarat akan makna. Sebut saja fragmen pertama, “Siang dan Malam”, yang menampilkan sepasang kekasih yang tengah terjebak di hubungan beracun abusive relationship. Hubungan yang awalnya berjalan dengan baik itu, seiring waktu berubah menjadi mimpi buruk saat Malam kian menampakkan sifat aslinya yang kasar dan penuh manipulasi. Siang yang malang bahkan tidak tahu bagaimana caranya menyudahi semua ini.
Fragmen singkat “Siang dan Malam” berhasil menunjukkan kegilaan abusive relationship yang kerap menjebak seseorang dalam suatu hubungan. Riri Aisyah, pemeran Siang, melalui perannya dalam film ini berharap orang-orang yang tengah mengalami hal yang sama dengan Siang, untuk bisa mencari pertolongan, perlindungan, dan sesegera mungkin memutuskan hubungan sebab trauma dan dampak yang dihasilkan rasanya memang tidak main-main.
Berbeda dengan fragmen pertama, “Cahaya dan Gelap” sebagai fragmen terakhir menampilkan dua insan sebagai Cahaya dan Gelap di tengah hubungan mereka yang abu-abu. Gelap menjadi seseorang yang tidak bisa berhenti mengejar dan mengagumi Cahaya. Dengan setia, ia terus memanggil nama Cahaya tanpa lelah. Sayangnya, Cahaya takmerasakan hal yang sama. Sebaliknya, si terang ini tidak peduli dan tidak menganggap ada kehadiran Gelap. Salah satu fragmen dengan simbolik paling menonjol ini membuat interpretasi bermunculan secara liar. Penonton beranggapan bahwa bisa jadi hubungan dalam fragmen ini menggambarkan seseorang yang tidak menganggap pasangannya ada, atau sepasang kekasih berbeda agama, lebih ekstrim lagi: sudah beda alam.
Putri Iran, pemeran Cahaya, melalui “Seperti Hendak” berharap para penonton dapat memandang lebih luas terhadap hal-hal yang mungkin masih dianggap tabu di sekitarnya. Lebih dari itu, ia juga berharap untuk siapa pun yang menyaksikan film ini agar bisa mengakui hal-hal di atas dunia dengan tidak memandangnya dari satu sudut pandang saja.
Pembawaan simbolik dalam “Seperti Hendak” tentu saja tidak bisa dilepaskan dari campur tangan sutradara film. Katon, sutradara sekaligus salah satu penulis naskah film ini, mengaku bahwa eksplorasi simbolik yang ia lakukan adalah bentuk dari pewarnaan tema romance yang diambil. Dengan apik, ia membubuhkan simbol-simbol berbeda tiap fragmen tergantung dari kebutuhan dan jalan ceritanya masing-masing. Simbol-simbol diturunkan melalui permainan warna, properti, dan bentuk-bentuk dari fragmen itu sendiri.
Alur cerita yang mengalir dalam “Seperti Hendak” didapatkan Katon dan kedua asisten sutradaranya dari hal-hal yang dekat dengan keseharian seperti pengalaman pribadi yang lalu diolah melalui brainstorming dengan tim. Meskipun simbolik, Katon mengaku enggan membawa film ini menjadi suatu yang berat atau dibikin mesti berpikir. “Gue gak mau terlalu jauh, karena agak pusing, ya, kayaknya ngebawain yang berat-berat. Jadi, gue mau bawain yang cinta-cintaan aja,” ujarnya saat dihubungi Pena Budaya via telepon Selasa (16/03) lalu.
Kendati demikian, Katon menuturkan bahwa esensi percintaan tidak sesederhana pasangan manusia saja. Melalui “Seperti Hendak”, dualitas laiknya Cahaya-Gelap, Siang-Malam, Pria-Wanita, dan lain-lain dimainkan karakternya oleh manusia dengan saling menjalin hubungan romansa.
Di tengah pandemi yang masih merebak, tim di balik layar “Seperti Hendak” tetap gigih melangsungkan penggarapan film hingga tiga bulan lamanya. Tentu saja dengan diiringi beberapa kendala seperti pembatasan jumlah orang dalam tiap pertemuan hingga harus dibuatkan jadwal shift agar tidak terlalu penuh dengan pemain atau kru. Belum lagi, permasalahan teknis seperti hujan dan lain-lain.
“Karena masih Covid-19 gini, jadi sebisa mungkin kita patuhi protokol kesehatan walaupun itu mempengaruhi banget ke proses kreatif pembuatan film ini,” tutur Katon.
Cukup berbeda dengan Katon, Riri Aisyah dan Putri Iran sebagai pemain dalam film menganggap kendala yang mereka hadapi lebih kepada diri mereka sendiri alih-alih pandemi atau masalah teknis. Sebagai karakter dengan mental yang bermasalah, Riri mengaku merasa cukup berat dan menguras emosi saat bermain peran, sedangkan Putri berkendala dalam memilih metode olah sukma (pembangunan dan pembentukan emosi) sebelum ia bermain peran.
Keseruan “Seperti Hendak” turut menggoda Mochamad Irfan Hidayatullah, M.Hum., salah seorang dosen program studi Sastra Indonesia, untuk menonton dan mengomentarinya. Menurutnya, kualitas akting para pemain film patut untuk diacungi jempol. Karena sudah terbiasa bermain teater, bukan masalah besar bagi Teater Djati untuk menurunkannya menjadi setting film. Namun, lanjut Mochamad Irfan, ada beberapa persoalan yang masih harus dibenahi tim, misalnya saja perihal unsur naratif yang masih jomplangdengan aspek teatrikalnya. Di beberapa fragmen, ada hal-hal yang masih kurang untuk dieksplorasi sehingga dapat menimbulkan tanda tanya besar bagi penonton. Belum lagi, menurutnya, konsep simbolik yang digunakan malah menurunkan unsur filmis dalam “Seperti Hendak”.
Kendati demikian, dosen mata kuliah Apresiasi Film Indonesia ini tetap memuji hasil kerja keras tim. “Bahan cerita dan tematiknya menarik, ada segmen-segmen dari berbagai jenis identitas, sinematografi dan editing-nya juga bagus. Ini bisa jadi potensi bagi teman-teman (Djati) untuk menggarap film independen selanjutnya,” pungkasnya.
Berkolaborasi dengan Komunitas KukuKakiKuKaku (K3), Teater Gulamsaka, dan Band Sistcat, “Seperti Hendak” resmi dirilis pada 12 Maret 2021 silam di kanal Youtube Teater Djati yang hingga kini sudah meraup penonton sampai dengan 1,4 ribu pengguna dan masih terus bertambah.