Sepiring Rasa dari Tangan yang Tidak Ahli

Nazwa Sakha Sabita
74 views
','

' ); } ?>

Masa sekolah seorang anak, terutama SD dan SMP, adalah saat ketika para ibu berlomba-lomba membuat bekal yang paling enak dan menarik untuk anaknya. Banyak ibu yang menganggap bekal yang baik menggambarkan ibu yang baik dan rajin. Bisa repot-repot memasak untuk anaknya di pagi buta dan berharap anaknya akan melahap habis bekal tersebut, walau ada saja anak bandel yang malah memberikan isi bekalnya ke teman yang suka makan apa saja. Habis tidaknya bekal yang dibuat menggambarkan persentase kebahagiaan seorang ibu.

Namun, aku tidak pernah tahu rasanya dibekali makanan yang dimasak oleh Mama. Saat aku SD, setiap wali kelas mewanti-wanti para ibu agar membekali makanan saja untuk anaknya demi menghindari jajanan yang tidak sehat. Mama akan membekali nasi uduk yang dibelinya pagi-pagi di dekat rumah. Bu Guru—wali kelas SD yang sudah tidak kuingat lagi namanya—akan mengecek satu-satu bekal muridnya, lalu tatapan matanya menunjukkan prihatin dengan bekalku yang ala kadar di saat teman sebangkuku dibekali seporsi nasi, tumis kangkung, dan ayam suwir kecap. Lalu, ketika para guru sudah lelah dan tidak lagi mengingatkan wali murid untuk membekali anak-anaknya, Mama tidak akan membekaliku lagi. Mama hanya memberikan uang saku, yang dua kali lipat lebih banyak dari teman-temanku saat itu, agar aku bisa jajan sendiri. 

Aku juga tidak menuntut banyak waktu itu. Mama seoranng pekerja kantoran, bangun tepat saat azan Subuh berkumandang dan pulang saat tiga puluh menit sebelum azan Magrib terdengar di langit. Ia tak punya cukup waktu untuk membekali aku dan kakakku dengan lauk yang harus dimasak secara telaten, ia hanya akan menggoreng tiga telur ceplok dan menyiapkan tiga piring berisi nasi untuk kami sarapan. Mama tidak bisa memasak makanan yang ribet-ribet. Makan malam kami pun selalu ayam, tumis tempe, dan tumis sayur yang dibeli Mama di warteg dekat kantornya. Setiap Papa pulang dari dinasnya, Papalah yang memasak semua makanan, sedangkan Mama yang mencuci piring. Aku dan kakakku akan senang setiap Papa pulang karena beliau akan memasak ayam goreng dan sup sayur yang kami sukai. Namun, setiap kami sekeluarga sudah jenuh dengan makanan yang itu-itu saja, nenekku yang datang ke rumah setiap sebulan sekali merupakan penyelamat kami. Beliau seperti diberi kemampuan memasak oleh Dewi Makanan, ia bisa memasak dua ikan gurame bakar, sayur asem, puding cokelat, dan sesekali membuat bolu kampung yang semua itu bisa dimasaknya dalam sehari.

Namun, aku masih tidak puas waktu itu. Aku belum pernah menikmati masakan buatan Mama selain telur ceplok. Ketidakpuasanku itu didorong oleh teman sebangkuku yang bertanya padaku di suatu hari yang menyebalkan, saat kami kelas 5 SD.

“Mama kamu enggak pernah masak?” tanyanya.

“Enggak,” jawabku.

“Kenapa?”

“Mamaku enggak bisa masak.”

Lalu, temanku itu keheranan, raut wajahnya secara jelas mengatakan, “Kok, bisa sih seorang Mama enggak bisa masak?” Aku hanya diam saja. Iya, iya, aku tahu mamamu jago sekali masak, bahkan bisa membuat dimsum ayam yang pada saat itu belum populer di sini. Mamaku, kan, kerja. Masa sudah kerja dari pagi sampai sore masih harus disuruh masak? Tapi, aku yang masih kecil tetap saja merasa sedih. Hampir semua mama bisa masak, hampir semua papa hanya menafkahi keluarga agar mama bisa masak enak, namun keluargaku tidak seperti itu. Bahkan materi IPS kelas satu SD sudah memberitahuku bahwa tugas ayah menafkahi keluarga, tugas ibu memasak, menyapu, mengepel, mencuci piring, membersihkan rumah, mengurus anak. Hidupku seperti tidak mengikuti yang dikatakan dalam buku IPS. 

Suatu hari saat aku SMP, aku bangun kesiangan di hari Minggu. Aku langsung menghampiri meja makan, siapa tahu ada roti bakar yang sudah dimasak Papa. Beliau paling suka membuat roti bakar dengan selai cokelat rendah gula kalau sedang di rumah. Namun, aku malah mendapati seporsi mi goreng dengan telur orak-arik yang tersaji di meja, tidak dimakan oleh siapa pun.

“Makan, Dek.” Muncul suara Mama yang keluar dari kamarnya, lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi.

“Ini siapa yang buat?” tanyaku.

Mama mengernyit menatapku. “Mama, lah. Papa dan Kak Nindya juga sudah sarapan pakai mi goreng itu, kok. Yang masih tersisa di meja itu jatah Adek.”

Hari itu tiba-tiba menjadi hari ajaib bagiku. Mama yang jarang masak, hanya pernah menggoreng telur ceplok atau nugget tiba-tiba memasak makanan yang tidak diduga. Walau memang terkesan keterlaluan jika memasak mi instan saja tidak bisa, tapi kenyataannya Mama belum pernah mengolah mie instan. Aku dan kakakku hanya diberi jatah sebulan sekali untuk makan mi instan, itupun pasti dibuat Nenek dan beliau akan membuat bumbu sendiri karena menurutnya bumbu mi instan tidak enak.

Saat aku mencoba mie goreng tersebut, itu kali pertama aku bisa menentukan sesuatu yang paling enak. Mi goreng buatan Mama direbus agak lama, jadi tidak terlalu keras dan mudah ditelan. Bumbunya pun meresap dan merata sempurna, tidak ada bagian mi yang tidak tersentuh oleh bumbu itu. Mama tidak menambah garam untuk telur orak-ariknya, jadi rasa telurnya sudah bercampur dengan bumbu mi, membuat mi goreng tersebut menghasilkan rasa yang seimbang.

Aku segera memakan mi tersebut satu demi suap dan saat mie itu kandas, aku merasa sedih karena bisa tidak merasakan rasa itu lagi.

“Enak, kan?” Mama lalu duduk di bangku depanku, tersenyum-senyum melihat piringku yang bersih.

“Enak, Ma. Kukira Mama enggak bisa masak,” ujarku.

“Memang enggak bisa. Mama enggak sejago ibunya Sarah kalau urusan makanan. Cuma itu yang bisa Mama masak,” tanggap Mama. 

Sejak saat itu, aku tidak pernah menemukan mie goreng seenak buatan Mama. Berbagai jenis warmindo di Malang pun belum bisa menandingi mi goreng buatan Mama. Aku bahkan pernah membawa tiga porsi mi goreng tersebut agar bisa dicoba oleh ketiga sahabatku, Sarah, Naufal, dan Lintang. Sarah yang ibunya jago masak saja mengakui mie tersebut memang enak, rasa yang belum pernah ia rasakan.

Lalu, setiap aku pulang ke rumah untuk liburan semester, aku akan selalu menantikan sarapan mi goreng buatan Mama yang dibuatnya setiap sebulan sekali. Kurasa menjadi seseorang bisa memasak apa saja bukan syarat untuk Mama bisa resmi disebut sebagai seorang ibu. Mama tidak perlu memasak pun aku tetap senang dan lega, selama setiap pulang ke rumah, aku bisa melihatnya duduk di hadapanku dan menemani setiap aku makan.

Subscribe
Notify of
guest


0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya