Simulakra Diri

Qois Hidayatullah Basayev
76 views
','

' ); } ?>

Puisi-puisi dalam kumpulan ini lahir dari pergulatan sunyi antara suara batin dan riuh dunia. Ia adalah cermin yang retak—memantulkan serpih-serpih identitas, kenyataan yang dibentuk oleh suara di luar diri, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak selalu butuh jawaban.

Lewat metafora dan imaji, aku mencoba menggambarkan bagaimana pikiran bisa dikuasai, bagaimana tubuh bisa terus bertahan meski jiwa perlahan kehilangan bentuknya. Ini adalah suara-suara lirih dari ruang batin yang kadang tak terdengar, namun terus bergetar.

Bagi siapa pun yang membaca, biarkan puisi-puisi ini menemuimu di titik yang paling sunyi: saat kau meragukan dunia, atau mungkin saat dunia mulai meragukanmu.

Selamat membaca—dan semoga kau menemukan dirimu, atau justru berani melepaskannya.

Hegemoni Pikiran

Menatap layar menyala,
algoritma mencoret-coret angka,
sebuah persamaan lahir
dari mulut yang tak berpikir.

2+2=5, bukan!?
Lantang bertanya,
dengan suara membutakan mata
mencekik tanda tanya di kepala.

Di luar jendela, angka-angka jatuh dari gedung pencakar, dari bibir pemimpin manis yang terpancar
di antar reruntuhan kabar.

Empat? Apa kau gila?
Mereka berbisik di telinga,
menyelipkan jari ke dalam kepala,
mencetak ulang cara kau melihat dunia.

Dan kau tertawa.
Ya, lima.
Tentu saja lima.
Dan langit pun adalah abu-abu,
karena katanya begitu.

To Fade Unseen

Oh, let me part, unseen, from mortal sight,
a whisper lost upon the midnight air.
To shed this weight and flee the blinding light,
and leave no trace for memory to bear.

No stone shall mark the ground where I have lain,
no mourner’s cry shall echo through the skies.
For sweet release doth free me from the chain
of living’s toil and all its woven lies.

If death should grant the peace that life denied, 
then let me fade, and be with naught allied.

Kata Mereka

Kata mereka, aku harus bersinar.
Jadi aku poles wajahku setiap pagi,
agar dunia melihatku lebih berseri,
meski cermin di kamar mulai bosan menatapku lagi.

Kata mereka, aku harus sukses.
Menyusun tangga dengan tubuhku sendiri,
agar bisa naik lebih tinggi—dan lupa cara turun lagi.

Kata mereka, aku harus bertahan.
Jadi aku menelan semua pil pujian,
memaksakan senyum dalam perjamuan,
dan pura-pura lupa rasanya kesepian.

Lalu suatu hari, aku pecahkan cermin,
mencari seseorang di balik retakan kaca.
Tapi yang kulihat hanyalah bayangan,
yang tak lagi kukenal namanya.

Aku masih berdiri, tapi kosong.
Masih tersenyum, tapi bohong.

Menunggu angin merekah
menerbangkan ke mana saja.
Melupakan arah pulang ke rumah,
bertanya-tanya apakah masih ada?

(Qois Hidayatullah Basayev)

Subscribe
Notify of
guest


0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya