Semester genap sudah berjalan hampir tiga minggu. Masih seperti dua semester sebelumnya, semester kali ini Unpad kembali melaksanakan kegiatan perkuliahan via daring. Setelah melalui polemik pembayaran UKT yang berakhir dengan penyesuain yang sama dengan tahun sebelumnya, mahasiswa Unpad ternyata harus menghadapi persoalan lain yang sama menyebalkan dan merugikannya.
Pena Budaya berkesempatan mewawancarai beberapa ketua angkatan di jurusan-jurusan FIB dari tiga angkatan aktif yang masih diwajibkan untuk berkuliah dengan KRS paketan. Banyak di antara mereka mengeluhkan hal yang sama: gagalnya beberapa teman seangkatan untuk masuk ke dalam ruang Google Meet untuk mengikuti kelas.
Semenjak merebaknya pandemi dan dialihkannya seluruh kegiatan menjadi daring, aplikasi/platform video call team memang tengah marak digunakan. Di Unpad, misalnya, dosen dan mahasiswa biasa memakai platform Google Meet atau Zoom untuk melaksanakan perkuliahan tatap muka. Dua semester lalu, penggunaan e-mail Unpad untuk membuat ruang di Google Meet masih memungkinkan peserta yang masuk sampai dengan 250 pengguna tanpa limit waktu. Untuk Zoom, beberapa dosen sudah menggunakan Zoom Premium—tanpa limit waktu dan pengguna—sedangkan beberapa lagi belum.
Kondisi kian rumit ketika memasuki semester genap, dengan masih membayar UKT bernominal sama, mahasiswa terpaksa menghadapi perkara baru yang seakan tidak menjadi bahan evaluasi Unpad di semester-semester daring sebelumnya. Di Fakultas Ilmu Budaya, terutama kelas-kelas Mata Kuliah Wajib Fakultas dan kelas-kelas jurusan yang dapat diambil oleh semester bawah, membawa malapetaka yang seharusnya tidak terjadi. Jumlah mahasiswa yang membeludak dalam satu kelas—dan sebenarnya sudah dapat diprediksi—sekira lebih dari 100 orang, membuat beberapa di antaranya terpaksa tidak dapat masuk ke ruang Google Meet karena kapasitasnya tidak mencukupi. Ditelisik lebih lanjut, terhitung sejak November 2020, e-mail Unpad sudah tidak lagi berfungsi memuat sampai dengan 250 orang di ruang Google Meet. Platform lain yang kerap digunakan dosen pun entah mengapa sampai saat ini belum dimodali untuk mengakses fitur premiumnya.
Keresahan mahasiswa-mahasiswa FIB ini kemudian disampaikan secara personal kepada ketua angkatannya masing-masing. Ramses Syamsa Anom, ketua angkatan Sastra Inggris 2020, menghadapi permasalahan pelik tidak dapat mengikuti kelas karena kapasitas yang penuh hingga harus menunggu rekaman video kelas daring dari temannya yang lain. Diaz Januar, ketua angkatan Sastra Indonesia 2020, mengalami hal yang sama dengan Ramses. Teman-teman seangkatannya yang mengambil mata kuliah semester atas terpaksa menelan pil pahit ketika kelas akan dimulai dan mereka malah tertolak karena ruang meeting sudah terlanjur full. Tak jauh berbeda, Raihan Firdaus, ketua angkatan Sastra Arab 2019, juga merasakan ditolak oleh ruang Google Meet bersama dengan 74 orang lainnya saat hendak masuk kelas mata kuliah fakultas.
Hampir senada dengan yang lain, Bayu Carnadi, ketua angkatan Sastra Perancis 2019, mengeluhkan kinerja dekanat perihal keberlangsungan kuliah daring semester ini. “Kami harus komplain dulu ke dekanat soal Zoom Premium, setelah itu baru difasilitasi. Tapi, apakah harus selalu ada keluhan dulu ke dekanat baru ada tindakan? Kenapa dekanat gak inisiatif mengantisipasi sebelum terjadi?” ujarnya saat dimintai keterangan oleh Pena Budaya.
Terkait situasi tersebut, Ketua BEM Gama FIB, Muhammad Rizki Ramadhan, mengaku telah membuka obrolan dengan BPM FIB dan berencana untuk meminta kejelasan kepada Pihak Kemahasiswaan dan Sarpras (Sarana dan Prasarana).
“Asalnya mau hari ini (re: Selasa, 23/02). Ini kita lagi di FIB, tapi kebetulan yang bersangkutan ternyata gak ada di tempat. Jadi mau coba follow up lewat chat atau telepon. Dan ada agenda untuk ketemu juga,” paparnya saat dihubungi Pena Budaya via WhatsApp beberapa hari yang lalu. Iki, sapaan akrab Rizki, berjanji akan memberi kabar jika ada progres selanjutnya. Namun, sampai dengan hari ini (28/02), Pena Budaya belum mendapat informasi lebih lanjut.
Kerisauan mahasiswa perihal kuliah daring di semester ketiga ini tidak berhenti sampai di situ. Subsidi kuota yang digadang-gadang pemerintah sampai menghabiskan 7,2 triliun, entah luput atau memang sudah tidak diberikan lagi oleh Kemendikbud selaku yang berwenang, hilang entah ke mana. Hal ini tentu dirasa sangat menyebalkan. Di tengah pandemi yang tak kunjung usai dan serba menyulitkan ini, para pelajar terpaksa mengeluarkan kocek lebih besar untuk membeli kuota internet secara mandiri bahkan tanpa bantuan dari universitas.
Padahal, sejak semester genap hampir dimulai, seruan penurunan UKT sudah gaung di setiap fakultas di Unpad. Bukan tanpa alasan, tentunya. Kegiatan daring yang sudah berlangsung selama setahun ini membuat mahasiswa tidak begitu bisa merasakan manfaat ratusan ribu hingga belasan juta yang dikeluarkannya untuk universitas. Kalau begitu, ke mana larinya uang semester mahasiswa kalau untuk masuk kelas dan mendapat sokongan kuota saja tidak bisa? (Azaina/Fajar Hikmatiar)