Semua terekam/ tak pernah mati, kira-kira begitulah ucap Jimi Multazam, dedengkot The Upstair sekaligus vokalis dalam grup band yang di tahun 2000-an awal merajai pensi-pensi di kota Jakarta kala itu.
Musik dan rekaman menjadi dua hal yang saling berkaitan. Tanpa direkam, musik hanya akan melayang jauh-jauh di angkasa atau hinggap sejenak di telinga-telinga pendengar lalu lenyap redam. Jauh sebelum mengenal digitalisasi musik seperti yang kita lihat sekarang di Youtube atau layanan musik streaming online macam Spotify, kita mengenal lebih dulu musik-musik yang terbungkus dalam rilisan fisik yang bisa diraba.
Rilisan fisik musik di Indonesia sendiri bermula dari piringan hitam berbahan dasar shellac yang banyak ditemukan sebelum tahun 1950-an. Lalu setelah itu berganti bahan dasar polyvinyl chloride atau biasa disingkat vinyl yang memiliki bahan dasar lebih kuat dan relatif mahal dibanding shellac. Setelah itu, rilisan fisik musik di Indonesia mulai marak menggunakan kaset yang lebih mudah dibawa kemana-mana dan menjadi landasan awal perkembangan industri musik populer Indonesia di awal tahun 1970-an.
“Runtuhnya Orde Lama yang anti terhadap musik-musik barat dan hadirnya kaset sebagai medium baru rilisan fisik, membuat musik populer pada masa Orde Baru semakin berkembang ditambah kebijakan pemerintah saat itu yang relatif lebih terbuka terhadap budaya luar sehingga memunculkan jenis-jenis musik populer baru yang lebih beragam,” ujar Ignatius Aditya, saat memberikan materi soal sejarah perilisan fisik musik populer di Indonesia pada acara pelatihan digitalisasi rilisan musik yang diadakan oleh Irama Nusantara dan Kemendikbud pada hari Kamis (8/4) di Hotel Horison Bandung.
Perkembangan perilisan fisik semakin kuat pada era pasca-reformasi di mana terdapat deregulasi media yang menjadikan perusahaan-perusahaan rekaman yang sebelumnya tersentralisasi di Jakarta, menyebar ke kota-kota besar di luar Jakarta. Hingga akhirnya digitalisasi rilisan fisik musik mulai merebak ketika Youtube dan kroni-kroninya menjamur di tangan-tangan kita.
Irama Nusantara dan usaha mengarsipkan
Dalam acara yang dihadiri berbagai kalangan pegiat digitalisasi musik di Hotel Horison Bandung pada Kamis (8/4) lalu ini, menjadi sebuah pertanda bahwa Irama Nusantara kembali menunjukan eksistensinya, setelah sebelumnya, organisasi yang berkantor di Jakarta ini sempat akan bangkrut karena kondisi finansial yang digerus pandemi.
“Berkat bantuan donasi dari teman-teman dan juga dukungan dari Kemdikbud, Irama Nusantara akan kembali mengarsipkan rilisan musik populer Indonesia ke dalam bentuk digital. Selain itu, salah satu bentuk dukungan Kemdikbud juga tercermin dari terselenggaranya pelatihan digitalisasi musik pada hari ini,” ujar Koben saat membuka acara pelatihan digitalisasi rilisan musik kamis lalu.
Acara tersebut merupakan program kerjasama antara Direktorat Film, Musik dan Media baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan @kemdikbud.ri dengan Yayasan Irama Nusantara. Bandung menjadi kota pertama terselenggaranya acara tersebut yang nantinya akan dilaksanakan di 2 kota besar lainnya.
Yayasan Irama Nusantara sendiri adalah sebuah organisasi nirlaba yang mengumpulkan dan mengarsipkan seluruh karya rekam musisi Indonesia ke dalam perpustakaan digital yang dapat diakses melalui iramanusantara.org. Organisasi ini didirikan tahun 2013 yang berawal dari keresahan David Tarigan dan Alvin Yunata tentang minimnya informasi musik-musik lawas Indonesia dan pengarsipan musik populer Indonesia yang kurang tertata secara baik. Hingga tahun 2021 sekarang, Irama Nusantara telah mengarsipkan kurang lebih 5.500 rilisan dan 57.543 lagu.
Pentingnya mengarsip
Pelatihan tersebut juga terselenggara sebagai upaya Irama Nusantara untuk menekankan betapa pentingnya mengarsip sebuah rilisan fisik musik ke dalam bentuk digital sekaligus berbagi cara-cara pelatihan digitalisasi musik yang biasa dilakukan Irama Nusantara selama delapan tahun berdiri.
Selain untuk mengabadikan rilisan fisik yang cenderung mudah rusak karena iklim tropis Indonesia, pengarsipan musik secara digital juga memberikan gambaran tentang kondisi sosial dan politik masyarakat Indonesia pada kurun tahun tertentu.
“Pada masa Orde Lama begitu banyak lagu-lagu yang nasionalis karena pada masa itu, Sukarno membawa ideologi politik melalui lagu-lagu yang diciptakan pada masa itu. Sedangkan pada masa Orde Lama, lagu-lagu yang diciptakan cenderung beragam dan berkiblat ke barat,” ujar Ignatius Aditya.
Rilisan musik paling tua di website iramanusanta.org berkisar pada tahun 1920-an, sedangkan rilisan paling baru berkisar pada tahun 1980-an.
Meskipun sudah berumur 8 tahun, akun Instagram Irama Nusantara sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukan bahwa masih banyak orang Indonesia yang belum mengerti tentang visi Irama Nusantara dalam mengarsipkan musik populer Indonesia ke dalam bentuk digital.
“Banyak warganet yang bertanya kenapa di website iramanusantara.org tidak disediakan fitur download. Kami tidak menyediakan fitur tersebut karena itu tidak sesuai dengan visi Irama Nusantara sebagai organisasi yang memang bertujuan untuk edukasi musik bukan komersialisasi musik. Meskipun sebenernya mah agak khawatir juga karena banyak orang Indonesia yang suka aneh-aneh dan pinter-pinter kalo soal ngebajak mah,” ujar Koben.
Menurut Koben, selain budaya minat baca Indonesia yang kurang baik, pemahaman dan kesadaran orang Indonesia terhadap dunia pengarsipan khususnya pengarsipan digitalisasi musik masih rendah dan kadang disalahartikan dengan perilaku membajak.
Koben berulang kali menegaskan, bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan diputarnya suatu lagu di iramanusantara.org, pihak Irama Nusantara tidak segan-segan untuk menurunkan lagu tersebut dari websitenya.
Selaras dengan itu, Ridwan Hutagalung menambahkan dalam acara tersebut, bahwa kurangnya kesadaran orang Indonesia terhadap pentingnya digitalisasi musik karena orang Indonesia hanya menjadikan musik sebagai hal untuk meramaikan suasana bukan menjadi ajang perbincangan yang serius.
“Banyak sekali musik lawas yang diunggah di Youtube tapi tidak memperhatikan kualitas suara dan lain sebagainya. Hanya iseng diunggah, dan anehnya banyak yang dengerin,” ujar Ridwan.
Dengan diadakannya pelatihan ini, selain untuk menyebarkan kesadaran betapa pentingnya pengarsipan musik dan karya-karya literatur lainnya soal musik, Irama Nusantara juga berharap peserta pelatihan bisa menyebarkan pengetahuan tentang cara mendigitalisasi musik ke masyarakat awam, agar kesadaran masyarakat terhadap musik, hak cipta, dan kerja arsiparis semakin tinggi dan tidak menjadikan musik hanya sebagai fungsi hiburan “pelipur lara” saja tapi menghargainya sebagai karya seni intelektual yang perlu diapresiasi setinggi-tingginya.