Tidak Ada yang Maya, Semua Itu Nyata: Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online pada Menfess Draft Anak Unpad

M. Roby Septiyan
1001 views
','

' ); } ?>

[Peringatan: artikel memuat penuturan korban kekerasan seksual yang dapat mengganggu kenyamanan Anda. Bila Anda membutuhkan bantuan, maka silakan gulir ke bagian paling bawah untuk melihat kontak-kontak yang dapat membantu.]

“Aku nggak nyadar kalau jadi korban, awalnya.”

Butuh waktu yang tidak sebentar bagi Ratih, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, untuk menyadari bahwa dirinya adalah korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Suatu keadaan yang mungkin saja dialami oleh korban.

Ratih menjadi korban KBGO pada pertengahan tahun ini. Pelakunya melakukan KBGO pada ruang terbuka digital, yaitu akun Twitter menfess Draft Anak Unpad. Akun tersebut biasa digunakan oleh Ratih untuk membaca informasi kegiatan mahasiswa, perbincangan mengenai kinerja BEM dan panitia suatu kegiatan, atau sekadar tanya-jawab mengenai hal-hal receh. Namun, kali itu ia mendapatkan menfess yang tidak diharapkan.

Berdasarkan catatan dan pengamatan PurpleCode Collective mengenai jenis-jenis KBGO, Ratih menerima kekerasan dengan bentuk trolling dan doxing. Ia menerima menfess dengan muatan seksis seperti udah punya pacar belum cantik? atau pelaku yang mengaku-ngaku sebagai pacarnya. Alamat kamar kostnya disebar, padahal ia sudah memastikan kalau alamatnya tidak diketahui oleh banyak orang.

Menfess-menfess itu membuat Ratih ketakutan bila sewaktu-waktu ada seseorang—utamanya laki-laki—yang tiba-tiba di depan pintu kamarnya.

Tindakan-tindakan tersebut dilakukan oleh pelaku dengan leluasa, karena mengirim menfess tidak harus menyertakan identitas diri. Pelaku terlindungi dalam anonimitas. Aksi KBGO diperlancar dengan penggunaan bot pada akun Draft Anak Unpad yang tidak memberikan jaminan untuk tidak menyebarkan data pribadi.

“Aku gak tahu siapa orangnya. Sampe sekarang, kadang-kadang aku masih penasaran sama pelakunya.”

Meskipun rasa penasaran itu terkadang masih timbul, Ratih tidak terlalu memedulikan pelaku. Baginya kebutuhan utama adalah menghapus menfess itu agar merasa lebih tenang. Kebutuhan itu terpenuhi saat pengelola akun Draft Anak Unpad menghapus menfess yang mengganggu Ratih.

“Sekarang gak mau lapor sih, ribet. Menfessnya udah ilang, aku juga gak nyimpen,” jawab Ratih saat ditanyai mengenai kemungkinan dirinya melapor ke Satgas PPKS Unpad.

Ini bukan pertama kalinya Ratih menjadi korban KBGO. Sebagai seorang mahasiswa, Ratih biasa memanfaatkan media sosial.

Tetapi, suatu hari, seorang kakak tingkat melakukan pelecehan kepadanya melalui chat. “Tahun lalu aku pernah di-chat kating Unpad. Obrolannya bikin aku gak nyaman.” Ratih bercerita mengenai tindak KBGO lainnya yang pernah ia alami.

Ratih memilih mendiamkan pelakunya. Tetapi, ia paham setiap korban atau penyintas memiliki kebutuhan berbeda. Ratih sadar bukan hanya dirinya yang pernah menjadi korban KBGO di kampusnya.

Meminta Tanggung Jawab Pihak yang Berwenang

Tindak KBGO yang dialami oleh Ratih bukan sekadar masalah antaranya dengan pelaku, lebih dari itu pengelola akun Draft Anak Unpad dan penyedia platform Twitter ikut bertanggung jawab atas kasus ini.

Twitter telah membuat laman pusat bantuan yang dapat diakses oleh pengguna layanan ketika mengalami masalah. Ada banyak kebijakan mengenai pelarangan konten media yang memuat kekerasan seksual dan hal yang dapat menormalisasi kekerasan dan membangkitkan trauma seseorang. Namun, itu semua bisa benar-benar optimal ketika semua penggunanya dapat berpartisipasi dengan aktif.

Selain adanya laman pusat bantuan, Twitter juga bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta dan Komnas Perempuan lembaga yang dapat memberi bantuan dan dukungan terhadap korban kekerasan berbasis gender. Korban tinggal mencari kata kunci ‘kekerasan berbasis gender’ untuk mendapat notifikasi layanan bantuan dan dukungan tersebut.

Akun Draft Anak Unpad juga sebenarnya sudah melakukan upaya pencegahan KBGO, misalnya menetapkan kebijakan bagi pengguna layanannya agar tidak menyebar foto orang lain tanpa izin. Selain itu, kasus Ratih memberikan gambaran bahwa pengelola akun Draft Anak Unpad responsif terhadap pelaporan menfess yang merugikan pengguna layanannya.

Hanya saja ada beberapa hal yang disayangkan, yaitu aturan yang belum dapat diakses dengan mudah pengguna layanan (aturan umum memang sudah ditulis pada deskripsi akun, tetapi ada aturan yang lebih rinci–meski masih kurang–masih berupa tweet di antara tumpukan menfess) dan daftar kata-kata yang dilarang tidak diketahui oleh pengguna layanan.

Sebagai pengupayaan akses terhadap kejelasan mengenai mekanisme perlindungan pengguna layanan menfess Draft Anak Unpad, kami mencoba menghubungi pengelolanya. Namun saat dihubungi, pengelola akun Draft Anak Unpad menolak diwawancara.

Selain penyedia platform dan pengelola akun menfess, pencegahan dan penanganan segala kasus kekerasan seksual di lingkungan Unpad merupakan wewenang dan tanggung jawab Satgas PPKS. Harus ada upaya pencegahan yang dilakukan dan SOP yang dibuat oleh Satgas PPKS untuk menangani KGBO.

“Semua kasus yang ditangani oleh satgas PPKS sampai saat ini, secara tidak langsung berkaitan dengan dunia digital,” kata Ari J. Adipurwawidjana anggota Satgas PPKS menanggapi kasus KBGO yang terjadi di lingkungan Unpad.

Seperti kasus Ratih, banyak korban lain yang enggan melapor ke Satgas PPKS. Hal ini ditanggapi oleh Ari. “Orang yang tidak melapor saat menjadi korban itu tidak tahu definisi korban. Dia tidak tahu hak-hak yang dapat dilanggar orang lain. Saat terjadi pelanggaran terhadap haknya, dia tidak dapat mengidentifikasi dirinya sebagai korban.”

Menurut Ari, keberadaan Satgas PPKS dan lembaga berwenang lainnya tidak bisa langsung membawa perubahan. Korban kekerasan seksual masih mengalami banyak rintangan untuk melaporkan kasusnya. “Adanya Satgas PPKS dan lembaga berwenang lainnya juga tidak secara cepat mengubah perubahan karena otoritas dipandang sebagai sesuatu yang bukan bagian dari masyarakat, sesuatu yang lain,” jelas Ari.

Hal itu menjadi suatu tantangan bagi Satgas PPKS dalam melaksanakan tugasnya. Adanya partisipasi publik merupakan harapan bagi Satgas PPKS karena upaya pencegahan dapat dilakukan hanya dengan persetujuan atau laporan korban.

“Karena itu, Pusat Riset Gender dan Anak Unpad sedang melakukan penelitian mengenai preventive bystander,” tambah Ari. Preventive bystander berarti peran orang yang ada di dekat seorang yang membutuhkan pertolongan untuk mengintervensi sebuah tindakan yang tidak diinginkan orang lain. Misalnya, kekerasan seksual. Upaya intervensi itu dilakukan secara tidak langsung dan tanpa disadari oleh pelaku.

Misalnya, seorang dosen dapat mengetuk pintu ruang yang diduga di dalamnya ada mahasiswa yang diintimidasi oleh dosen lain. Dosen yang mengetuk pintu dapat memanggil mahasiswa yang diintimidasi atau mengobrol panjang lebar dengan dosen yang diduga mengintimidasi untuk menggagalkan situasi yang tidak diinginkan.

Pernyataan Ari dapat diartikan bahwa partisipasi adalah hal yang sangat penting. Bukan hanya soal melaporkan ke Satgas PPKS. Bukan hanya masalah antara pelaku dan korban atau terlapor dan pelapor. Hal yang penting dari partisipasinya adalah keterlibatan semua orang dalam pencegahan terjadinya kekerasan seksual.

“Sangat perlu adanya edukasi mengenai partisipasi publik. Hal yang kita lawan adalah sesuatu yang membudaya. Tercermin dari ucapan ‘udahlah gak usah lapor’, ‘jangan cari gara-gara’, atau ‘jangan terlibat’. Partisipasi dapat mencegah terjadinya masalah yang mendalam budaya kita, salah satunya adalah kekerasan seksual.”

Ari juga menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu kita harus memahami orang lain, maksudnya posisi antara seseorang dengan orang lainnya akan berbeda dalam masyarakat. Seorang lelaki setengah baya berpostur tinggi dan berpendidikan akan sangat timpang posisinya dengan seorang perempuan queer yang berjualan jamu. Karena itu, kita harus bisa memahami pandangan seorang korban sesuai dengan kebutuhannya agar kita dapat berpartisipasi dengan baik.

Mengenai pencegahan dan penanganan kasus KBGO lebih lanjut, Satgas PPKS memiliki beberapa langkah pendek dan panjang yang akan dilakukan.

“Untuk saat ini akan dilakukan roadshow Satgas PPKS ke fakultas-fakultas. Tujuannya agar warga Unpad lebih mengenal Satgas PPKS, sehingga tidak ada keasingan yang menyebabkan ketidakpercayaan terhadap otoritas. Selain itu, acara ini diadakan untuk membuat jejaring relawan di setiap fakultas. Relawan dapat menambah keoptimalan kerja Satgas PPKS, mengingat jumlah anggota Satgas yang sangat kontras dengan warga Unpad ditambah dengan kerentanan yang beragam,” jelas Ari.

Pendidikan yang bertujuan untuk mencegah kekerasan seksual dalam bentuk apapun juga jadi fokus kerja Satgas PPKS.

“Penelitian yang dilakukan Pusat Riset Gender dan Anak diharapkan dapat dijadikan kurikulum, utamanya dalam penerimaan mahasiswa baru. Namun, pendidikan mengenai kekerasan seksual tentunya harus terintegrasi dalam semua kegiatan dalam dan luar ruang kelas, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Selain itu, penting juga diadakan pendidikan penggunaan media daring agar mencegah KBGO,” jelas Ari.

Instrumen lain yang juga penting dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, adalah SOP penanganan kekerasan seksual. Namun, sampai saat ini, belum ada SOP penanganan kekerasan seksual yang disahkan oleh rektor.

“Tidak adanya SOP mengenai penanganan kekerasan seksual bukanlah satu kekurangan bagi Satgas PPKS, Kampus, dan Kemdikbudristek karena memang belum ada peninggalan sebelumnya. Semuanya jadi baru, bahkan Satgas PPKS harus membuat SOP untuk dirinya sendiri. Satgas PPKS pun selalu belajar dan mengoreksi setiap penanganan kasus yang ada,” terang Ari.

Korban KBGO Nyata

Ada hal yang sering dilupakan dalam kasus KBGO, seolah-olah kasus ini hanya antara korban dan pelaku. Hal tersebut adalah teknologi.

Eni Puji Utami, perwakilan organisasi PurpleCode yang banyak mendampingi korban KBGO menjelaskan bahwa teknologi tidak bersifat netral.

“Kita tahu bahwa pencipta atau penguasa platform media sosial saat ini didominasi oleh laki-laki berkulit putih dari belahan dunia utara. Mereka membangun dunia digital dengan perspektif mereka sebagai laki-laki di negara mereka, tidak menggunakan keberagaman perspektif lainnya–utamanya perempuan,” jelas Eni.

Akibatnya, teknologi tidak ramah bagi perempuan dan subjek rentan lainnya. Saat perempuan dan subjek rentan itu mengalami kekerasan dan melaporkan ke platform, mereka cenderung tidak merespons, bahkan tidak bertanggung jawab.

Selain itu, korban KBGO sering dipinggirkan akibat anggapan dunia digital tidak nyata. “Konstruksi lain yang diterapkan pada pikiran kita adalah dunia digital adalah dunia maya, padahal tidak,” tutur Eni. “Korban KBGO sering termarginalkan akibat anggapan dunia digital itu maya, padahal korbannya ada, kekerasannya nyata, buktinya ada, bahkan dampaknya berkelindan dalam dunia digital dan dunia fisik.”

Dalam kasus Ratih, sebagai korban doxing, fenomena itu berkaitan dengan penyerahan atau penyebaran data pribadi kepada platform atau orang lain. Bahwa bahaya-bahaya penguasaan data pribadi oleh orang lain itu nyata.

Eni menjelaskan bahwa pelaku doxing atau KBGO lainnya dapat diidentifikasi menjadi tiga kategori berdasar hubungan dengan korban. Pertama, orang dikenal seperti pacar, suami, mantan pacar, dan mantan suami. Kedua, kenalan yang tidak kita kenali karakter aslinya seperti teman dari dating apps. Ketiga, anonim yang sama sekali tidak diketahui dan paling banyak persentasenya dibanding pelaku lainnya.

Pelaku-pelaku tersebut bisa dikategorikan lagi sesuai dengan tindakannya. Pertama, pelaku primer yang melakukan KBGO pertama kali. Misalnya, ia mendapatkan konten seksual seseorang melalui peretasan, kemudian menyebarkan konten tersebut. Kedua, pelaku sekunder yang terus menerus menyebarkan konten yang sudah disebar pelaku primer. Pelaku juga bisa jadi bukan perorangan. Pelaku bisa saja sekelompok orang yang berjejaring dan terorganisir.

Lantas, bagaimana kita dapat mencegahnya? “Pertama, pertimbangkan kewajaran data yang diminta oleh platform, signifikan atau tidak. Kedua, tidak usah menggunakan banyak aplikasi. Maksudnya gunakan seperlunya. Misalkan menggunakan satu aplikasi belanja online, dibandingkan menginstal banyak aplikasi,” saran Eni.

Perlu disadari bahwa membebaskan diri dari dampak buruk teknologi tidak bisa 100% dilakukan. Dunia digital tidak terbatas ruang dan waktu sekaligus menyekat-nyekat ruang tertentu. Oleh karena itu, ada ruang-ruang yang sulit kita pastikan aman karena ketidakmampuan kita menggapai luasnya jangkauan dunia digital.

“Orang yang kita kenal bisa saja membagikan data pribadi kita tanpa izin. Kita tidak dapat mengontrol orang lain, tetapi dapat melakukan mitigasi bila itu terjadi,” jelas Eni.

Sementara, mitigasi yang bisa dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan korban. Ada tiga aspek yang menjadi fokus penanganan KBGO. Pertama, hukum. Kedua, psikososial. Ketiga, teknologi. “Penanganan KBGO yang dilakukan oleh PurpleCode selama ini berfokus pada kepulihan korban yang dapat mengelola ketakutannya, kesedihannya, kemarahannya dan pemenuhan kebutuhan lainnya, mengingat penanganan hukum yang tidak menguntungkan,” jelas Eni.

Penanganan KBGO secara Hukum

Ada kesulitan tersendiri saat membawa kasus KGBO ke ranah hukum. Kesulitan itu mulai dari perlakuan tidak humanis terhadap korban oleh aparat, keterancaman korban mendapatkan hukuman, dan lainnya.

Hal ini diungkapkan baik oleh Ari maupun Eni.

“Semua sistem di dunia ini masih beradaptasi dengan dunia siber, termasuk polisi. Cara berpikirnya masih dengan pedoman dunia luring yang mungkin tidak sesuai dengan dunia daring. Tentunya harus ada banyak penyesuaian oleh semua pihak dalam kasus ini,” jelas Ari.

Dalam hal kasus di kampus, Ari mengatakan bahwa pihaknya, “Kami masih membutuhkan bantuan dari banyak pihak untuk mengoptimalkan Satgas PPKS.”

Eni juga memberikan penjelasan mengenai penyelesaian kasus KBGO yang sampai saat ini belum dapat selesai melalui ranah hukum di Indonesia. Banyak sekali tantangan dan kerentanan bagi korban.

“Sudah ada aturan yang memfasilitasi korban KBGO untuk melapor ke polisi, tetapi tidak semua jenis KBGO sudah difasilitasi. Hal ini diperparah lagi dengan tidak semua polisi memahami UU TPKS dan lainnya, sehingga ujungnya kembali ke UU ITE dan sangat merugikan korban,” jelas Eni.

Lantas, apa yang bisa kita lakukan ketika ada kawan yang menjadi korban KBGO?

“Ketika ada teman datang ke kita dan mau bercerita, maka dengarkan tanpa menghakimi. Apabila kamu punya pengetahuan untuk mengurai kebutuhan temanmu, maka urai bersama temanmu. Namun, kalau tidak punya kompetensi itu maka mintalah izin untuk menghubungi pihak yang lebih kompeten dengan jaminan ceritanya tidak menyebar. Tanya kebutuhannya apa, tenangkan temanmu. Jika kamu tidak dapat melakukannya sendiri, cari bantuan lainnya,” pesan Eni kepada semua orang.

“Teman-teman yang sedang bingung, marah, khawatir, dan masih butuh validasi mengenai kasusnya. Kalian tidak sendiri, banyak teman yang dapat mendampingi dalam menghadapi kasus itu. Mulai dari mendengarkan, mengurai, sampai mendampingi semua bantuan itu dapat dijangkau. Kalau teman-teman masih bingung, PurpleCode ada untuk teman-teman semua. Kemudian, penyintas yang sudah pulih, mari kita peluk erat-erat teman kita semua demi solidaritas dan lingkungan yang lebih baik lagi,” pesan Eni untuk para penyintas KBGO.

Setiap korban KBGO berhak untuk pulih. Kita semua dapat membantu sesuai dengan kebutuhan korban. Jangan salahkan korban, mintai izinnya dalam penanganan, dan bagikan pengetahuan mengenai KBGO sebagai bentuk partisipasi kita untuk lingkungan yang lebih aman.

*Ratih adalah nama samaran.

Apabila teman-teman sedang membutuhkan bantuan atau mengetahui seseorang yang sedang membutuhkan bantuan mengenai KBGO, dapat menghubungi

  1. Bagi mahasiswa FIB Unpad dapat menghubungi layanan ‘Halo, Bu Dekan’, https://wa.me/082116162020,
  2. Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Universitas Padjadjaran, Instagram: @ppksunpad dan surel: satgas.ppks@unpad.ac.id. Warga Unpad atau masyarakat di luar Unpad yang mengalami kekerasan seksual dari warga Unpad dapat berkonsultasi atau mendapat pendampingan di Ruang Aman melalui https://bit.ly/ursafe-unpad,
  3. PurpleCode Collective, Instagram: @purplecode_id dan surel: kolektif@purplecodecollective.net
  4. Layanan Awas KBGO inisiatif dari SAFEnet,
  5. Lembaga Bantuan Hukum Bandung, Instagram: @lbhbandung, Twitter: @LBHBandung, WA: https://wa.me/082120171321 dan surel: konsultasi@lbhbandung.or.id,
  6. Sapa Institute, Instagram: @sapa.institute, Twitter: @sapa.institute, dan surel: office@yayasansapa.id | cc: sapa_bdg@yahoo.co.id.

[Liputan ini dilakukan dengan kehati-hatian. Tulisan yang diterbitkan sudah sesuai dengan masukan korban dan telah disetujuinya. Jika merasa ada informasi yang keliru atau keberatan dengan liputan ini, silakan kirim hak jawab ke alamat surel: ruangamantanpakecuali@gmail.com]

Liputan ini didukung oleh beasiswa peliputan “Yang Muda, Yang Mewartakan” yang diadakan oleh Project Multatuli dan Rutgers Indonesia.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran