Belakangan ini, tepatnya 25 Februari 2022, sebuah postingan milik BEM Keluarga Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM KMFP) menghebohkan jagat media di kalangan Keluarga Mahasiswa Universitas Padjadjaran (Kema Unpad). Postingan tersebut berisi surat keputusan pemberhentian tidak hormat terhadap salah satu Staf Advokasi Pelayanan Mahasiswa BEM KMFP Unpad 2022, yaitu Gani Lanuda Afriadi yang juga diketahui mahasiswa program studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unpad angkatan 2020. Alasan pemberhentiannya disebabkan oleh tindakan kekerasan seksual yang telah ia lakukan dan akui.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua BEM KMFP Unpad, Mohamad Haikal Febrian Syah. Haikal menegaskan BEM KMFP Unpad berkomitmen berpihak kepada korban dan tidak menoleransi kekerasan seksual dalam bentuk apa pun (Persmagenera.faperta.unpad.ac.id 26/02/2022).
Selain itu, ada pula kasus yang dilakukan oleh salah satu anggota Radio Mahasiswa Unpad, yakni Abdul Hafizh Ghozi Nur Ichsan yang juga telah dibenarkan olehnya bahwa ia melakukan tindakan kekerasan seksual. Langkah yang sangat baik pun dilakukan oleh pihak Radio Mahasiswa Unpad karena langsung menindaklanjuti kasus ini dan berakhir dengan pemutusan relasi kepada pelaku.
Kasus kekerasan seksual bukan kasus pertama, kedua, atau ketiga yang terjadi di Unpad. Setidaknya, telah diketahui ada 14 penyintas kekerasan seksual di Unpad sebagaimana tim #AkuKamuKitaBersuara, gabungan tim Pena Budaya dengan enam aliansi pers mahasiswa Unpad lainnya, menerbitkan artikel liputan mengenai kasus kekerasan seksual yang merebak di Unpad pada 2021 lalu.
Selain itu, Fakultas Hukum Unpad telah mengadakan survei dan mengumpulkan 612 responden yang mampu menunjukkan 22.1% masyarakat di Unpad pernah mengalami kasus ini di kampus, 73.4% responden pernah mendengar kasusnya di kampus, dan 10.6% pernah melihat secara langsung kasus tersebut. Survei ini juga menunjukkan 67.6% total responden belum merasa terlindungi dari ancaman kasus tersebut. Juga membuktikan 97.9% responden setuju untuk merasa perlu diadakannya regulasi penanganan kasus kekerasan seksual di Unpad (ketik.unpad.ac.id 28/12/2020).
Maraknya Dukungan untuk Korban Kekerasan Seksual
Setelah berita ini menyebar, sudah barang tentu hal ini mendapat banyak perhatian bagi masyarakat Unpad karena akhir-akhir ini memang banyak terungkap kasus kekerasan seksual di kampus. Hal ini juga telah mendapat respon positif dari pihak rektorat, bahkan ada tindak lanjut dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek).
Hal ini dibuktikan dengan adanya audiensi seluruh BEM di Unpad, HopeHelps Unpad, dan Girl Up Unpad bersama Direktur Kemahasiswaan dan Hubungan Alumni Unpad untuk menindaklanjuti pembentukan Panitia Seleksi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) pada 7 Februari 2022 lalu.
Respon masyarakat dari kasus ini juga memperlihatkan begitu banyak dukungan dari mahasiswa Unpad yang terlihat melalui komentar-komentar pada postingan instagram pemberhentian tidak hormat milik BEM KMFP seperti yang telah disinggung di atas.
“🔥🔥Kawal jangan kasih ruang, jadikan kampus tempat aman untuk menimba ilmu” – @raydsatria
“terimakasiiii kmfp sudah bergerak dengan cepaat!! 🔥🔥🔥” -@hersyanrs
“Yash emang perlu diginiin, jangan lembek demi nama baik kampus. Kawal teruss tindak dengan serius!!!🔥🔥” -@insidejek
Melihat sikap rektorat, BEM, hingga mahasiswa yang merespon dengan positif terhadap kasus kekerasan seksual jujur saja melegakan hati. Hal yang semakin terlihat dalam kasus ini adalah pentingnya kita memberikan bantuan kepada korban, bukan malah menyalahkan.
Stop Menyalahkan Korban!
Banyak pula komentar yang sering saya dengar,
“lagian, ceweknya sih pakai baju terbuka”
“mau-maunya sih diajak ke kost-an cowo”
“padahal harusnya dilawan, misal ditendang, ditonjok, dan sebagainya.”
Hadeehhhhh. Semoga 2022 ini dan seterusnya sudah tidak terdengar lagi komentar seperti itu. Sebab, pertama, yang menjadi korban bukan hanya perempuan. Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KPRA) telah membuktikan sebanyak 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah menjadi korban pelecehan di ruang publik. Bahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan pada tahun 2018 kekerasan lebih banyak terjadi pada anak laki-laki, perbandingannya adalah 60:40 antara korban laki-laki dan perempuan. (ijrs.or.id 28/9/20).
Kedua, pakaian yang dikenakan setiap orang itu menurut saya hak setiap orang, termasuk apabila perempuan mengenakan pakaian yang publik bilang itu ‘pakaian terbuka.’ Kalau pun perempuan mengenakan pakaian terbuka dan, misalnya, ada pria yang tergoda untuk melakukan tindakan seksual, itu bukan salah perempuannya. Yang nafsu pria, kok yang disalahkan perempuan?
Dan ketiga, melawan tindakan kekerasan seksual saya rasa tidak mungkin mudah untuk seorang korban. Bayangkan, jika situasi kita sebagai korban yang sedang dilecehkan oleh si pelaku, apakah mental kita saat itu akan tetap baik–baik saja? Tidak. Korban, setidaknya ketika tengah berada dalam ancaman, terlebih dahulu akan merasakan takut dan down, hingga tidak bisa melakukan apa-apa.
Kalau pun memang, ada kesalahan yang korban lakukan, tidak bisa kah di ke sampingkan dulu untuk menyudutkan korbannya? Ketika korban bercerita mengenai kasus kekerasan seksual, saya yakin, ia tidak butuh ceramah, apalagi disalahkan. Setidaknya ia hanya butuh didengarkan dan dibela.
Bentuk Perhatian Kampus
Berbagai sikap responsif dari berbagai pihak di kampus untuk mengusut tuntas kasus tersebut tentu saja yang utama adalah sebagai bentuk perlindungan korban, kan? Toh, jika bukan, secara umumnya pasti ingin menciptakan lingkungan kampus yang aman dari hal-hal yang tidak nyaman.
Kekerasan seksual sangat menunjukkan tindakan yang terlalu jahat untuk dibiarkan. Ini pula yang menjadi keharusan bagi setiap lembaga di Unpad untuk menindaklanjuti kasus ini. Selain memberi rasa aman kepada masyarakat Unpad, memberi perlindungan pada korban, juga perlu pengaturan hukum untuk pelaku.
Namun, saya bertanya-tanya kepada kampus ini, apa yang salah dari semuanya–peraturan yang telah dibuat–sehingga korban masih terus bermunculan di kampus?
Kita tahu bahwa pada 5 Juni 2020 lalu pun, Unpad telah menetapkan Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Pencegahan Pelecehan Seksual di Lingkungan Unpad. Namun, selepas itu, kasus ini masih bertambah. Sebagaimana telah disinggung di atas, informasi ini disampaikan pada liputan #AkuKamuKitaBersuara.
Korban Kekerasan Seksual Tetap Bertambah, Apa yang Salah?
Memang, peraturan rektor tersebut terbilang minim dampaknya. Birokrasi yang menurut saya belum cukup jelas dan terbilang rumit juga jadi salah satu alasannya. Mungkin, jika saya berdiri sebagai korban, saya pun akan berpikir dua kali untuk melaporkan kasus yang tengah saya alami, misalnya. Sebab, terlalu banyak tangan yang terlibat dalam penanganannya. Sedangkan sebagai korban, saya ingin privasi saya benar-benar terlindungi dan tidak banyak pihak yang tahu.
Lembaga yang khusus menangani kasus ini dan peraturan rektor lebih lanjut jelas sangat dibutuhkan, sifatnya penting dan mendesak. Kekerasan seksual bukanlah tindak kejahatan yang bisa disepelekan karena dampaknya, khususnya bagi korban, akan sangat memengaruhi psikologis. Dari mulai rasa tidak lagi percaya diri, dikucilkan masyarakat, bahkan jika korbannya wanita bisa terjadi kehamilan. Tentunya hal ini akan berpengaruh bagi kehidupan korban ke depannya.
Sudah Tepatkah Tindakan Pihak Kampus terhadap Pelaku?
Terakhir kali saya mengamati langsung kasus kekerasan seksual di Unpad adalah ketika saya mendengar ada korban di FIB. Saya juga sempat terlibat meliput dengan tim #AkuKamuKitaBersuara tahun 2021 lalu, di sana saya mendapat bagian menghubungi kepala program studi untuk menanyakan kasus tersebut yang pernah dilakukan oleh salah satu mahasiswa program studi terkait.
Saya bertanya mengenai hal apa yang dilakukan oleh pihak prodi kepada mahasiswa yang melakukan kekerasan tersebut. Kepala prodi tersebut mengatakan kasus tindakan itu telah dialihkan kepada pihak fakultas untuk penanganan lebih lanjutnya.
Lalu, tim kami bertanya juga kepada pihak fakultas mengenai kasus ini. Pihak fakultas mengaku kesulitan mendapatkan barang bukti yang kuat, ditambah lagi si pelaku terus mengelak melakukan tindakan itu.
Tim #AkuKamuKitaBersuara pun telah mewawancarai korban kekerasan seksual tersebut. Ia mengungkapkan si pelaku pada akhirnya mendapat sanksi sosial, yakni pemberhentian jabatan dalam organisasi kemahasiswaan yang tengah ia lakukan saat itu. Namun, kata korban, pada akhirnya pula si pelaku ini dapat lepas dari sanksi secara hukum sehingga dapat kembali beraktivitas seperti biasa.
Untuk penanganan kasus kekerasan seksual bagi pelaku, menurut saya perlu ketegasan lebih yang dilakukan oleh pihak kampus, misalnya dengan memberikan status drop out dari kampus kepada si pelaku. Karena, sepertinya keterlambatan atau kurangnya penanganan ini ada di pihak kampus. Sementara itu, pihak lembaga kemahasiswaan, seperti BEM Fakultas atau Unit Kegiatan Mahasiswa, cukup tanggap menindaklanjuti kasus ini, seperti yang dilakukan BEM KMFP dan Radio Mahasiswa Unpad yang langsung memberhentikan pelaku kekerasan seksual secara tidak hormat.
[…] tidak hanya terjadi belakangan ini. Beberapa waktu lalu, Kema Unpad juga digegerkan oleh beberapa kabar mengenai tindakan kekerasan seksual di […]