Tim RSH Unpad Teliti Peran Buzzer Politik di TikTok dalam Penggiringan Opini Negatif pada Pemilu 2024

Salma Aulia Ramadhan
165 views
','

' ); } ?>

Indonesia menganut sistem demokrasi yang menyelenggarakan pemilihan umum setiap lima tahun sekali sebagai bentuk sarana kedaulatan rakyat. Selama masa pemilu tersebut, tentu setiap paslon akan memiliki tim suksesnya masing-masing, bahkan sampai hadirnya buzzer untuk mempromosikan diri maupun partai. Dalam pemerintahan sendiri, penggunaan buzzer menjadi instrumen yang dapat membalikkan dan meredam kritik (Firdaus, 2021). Buzzer ini yang nantinya akan berdampak terhadap penggiringan opini di media sosial dalam perspektif masyarakat. Dengan adanya buzzer yang marak di masyarakat, hal ini menimbulkan berbagai dampak negatif dari beberapa aspek, seperti penggiringan opini negatif hingga tersebarnya hoaks yang menyebabkan terjadinya kebisingan ruang digital. Sayangnya, fenomena ini belum ada pedoman empiris dari aspek bahasa yang berpotensi pada jeratan hukum dan belum memiliki sandaran hukum yang kuat terhadap batasan perilaku buzzer politik.

Mahasiswa Universitas Padjadjaran melakukan riset mengenai eksistensi buzzer politik pada salah satu platform digital, yaitu TikTok ketika masa pemilu tengah berlangsung untuk dianalisis potensinya terhadap jeratan hukum. Riset tersebut dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Hukum, yaitu Hanni Nabila Athaya (Sastra Indonesia), Safina Rahadatul Aisy (Sastra Indonesia), Rohmah Febriyanti (Ilmu Hukum), dan Tika Febryana (Ilmu Hukum) yang dibimbing oleh Nani Darmayanti, S.S., M.Hum., Ph.D. Para mahasiswa tersebut merupakan tim yang masuk ke dalam skema Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosiohumaniora (PKM-RSH) yang mendapatkan pendanaan dari Ditjen Diktiristek RI.

Riset ini dilakukan terhadap konten-konten buzzer politik yang ada di platform TikTok. Mengapa hanya TikTok? Menurut pernyataan Hanni (29/07/2024) “Karena TikTok menempati urutan pertama persebaran konten hoaks terkait pemilu 2024. Lalu dari analisis kami yang berdasarkan vosviewers untuk melihat celah kebaruan riset ini ditemukan bahwa riset terkait konten buzzer politik di TikTok masih sangat minim mengingat jurnal-jurnal terdahulu lebih banyak memakai aplikasi Twitter (X saat ini). Hal tersebutlah yang membuat tim kami memutuskan untuk memilih TikTok”.

Dalam analisis riset yang telah dilakukan, tim menggunakan metode gabungan kuantitatif dan kualitatif dengan objek utamanya, yaitu frekuensi kata tertentu yang mengindikasikan opini negatif, bersumber dari konten dan komentar platform digital TikTok yang mengandung isu pemilu dengan diksi yang mencemarkan citra baik yang sudah dibangun oleh masing-masing paslon. Untuk memperkuat data tim juga melakukan studi literatur di bidang hukum, bidang bahasa, peraturan perundang-undangan, maupun hasil wawancara dengan ahli terkait. Hal ini dilakukan guna mendukung sumber data untuk mengembangkan isu yang diangkat.

Dari penelitian tersebut, tim menemukan sebuah indikator pola kebahasaan yang digunakan buzzer politik ditandai dengan penggunaan diksi tertentu yang bermakna penggiringan opini negatif dan termasuk pada kategori kejahatan berbahasa dalam linguistik forensik, yaitu pencemaran nama baik. Hal tersebut dilakukan oleh buzzer untuk menyerang citra setiap paslon, capres dan cawapres. Kemudian, pandangan hukum menyatakan bahwa pola kebahasaan yang digunakan buzzer politik pada Pemilu 2024 di platform TikTok telah menunjukkan indikator yang masuk ke dalam konteks pencemaran nama baik yang berpotensi terkena jeratan hukum, terutama terhadap Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) Undang-undang ITE.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi metode gabungan, yaitu kualitatif dengan menggunakan aspek linguistik forensik dan metode kuantitatif dengan menggunakan aplikasi AntConc untuk mendapatkan frekuensi kata. Selain itu, untuk menunjang data yang ada, dilakukan pula wawancara kepada para pakar terkait. “Kami memilih para pakar yang mengerti dan paham mengenai bidang yang sedang kami kaji. Di antaranya, pakar linguistik forensik, pakar bahasa–linguistik, pakar saksi ahli pencemaran nama baik di kepolisian, dan juga pakar hukum tentunya,” tutur Hanni Nabila Athaya selaku ketua tim.

Subscribe
Notify of
guest

0 Komentar
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Artikel Lainnya

Inspirasi Budaya Padjadjaran