Pada tanggal 7 Mei 2022 lalu, presiden RI mengeluarkan kebijakan mengenai pelonggaran mengenakan masker di tempat umum. Tentunya kurang mencerminkan Indonesia jika tidak ada pro dan kontra untuk menanggapi kebijakan yang ada. Karena kebijakan ini ditakutkan menjadi sebuah kelalaian dan tindakan terburu-buru yang dilakukan pemerintah.
Walaupun situasi pandemi Covid-19 saat ini mulai melandai, tetapi penggunaan masker kini berguna sebagai antisipasi agar angkanya tidak meningkat kembali. Selain itu, adalah sebagai bentuk kewaspadaan apabila muncul varian baru dan penularan yang tentunya tidak dapat diabaikan. Belum lagi, kemunculan wabah hepatitis akut yang digadang-gadangkan memiliki kemungkinan menular lewat pernapasan. Namun, kebanyakan masyarakat menjadikan kebijakan ini menjadi berita gembira dan menganggapnya sebagai proses transisi menuju endemi serta kebebasan.
Bagi wanita-wanita bermake-up, mereka merasa senang karena proses panjang mereka mengukir wajah menjadi sedemikian rupa, tidak lagi perlu tertutupi benda bernama masker itu–apalagi memikirkan make up-nya transfer ke masker. Juga untuk sebagian orang yang tidak nyaman dengan terus menggunakan masker, atas rasa sesak yang mereka rasakan ketika mengenakan masker di mana pun dan kapan pun selama ini.
Pendapat ini didukung oleh mereka yang menggeluti dunia olahraga. Menurut mereka, penggunaan masker saat latihan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan jika dipaksakan, terlebih dalam hal pernapasan. Apalagi jika jatuh pada orang-orang yang memiliki riwayat penyakit yang berhubungan dengan pernapasan.
Di luar dari antisipasi tersebut, bagaimana masyarakat Indonesia menanggapi kebijakan yang baru-baru ini muncul? Tentunya beragam pula, sebab Indonesia, sebagaimana kita tahu, adalah negeri yang warganya digambarkan penuh dengan perbedaan mulai dari pemikiran, reaksi, tanggapan, kritik maupun saran.
Intensitas pemakaian media sosial di Indonesia telah mencapai 191 juta pengguna. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berada di angka 170 juta pengguna, maka intensitasnya telah naik sekitar 12,25 %. Dengan turunnya kebijakan ini, para pengguna aktif media sosial menjadikannya sebagai bahan untuk berkreasi lewat konten mereka.
Bagi sebagian orang, masker mereka jadikan sebagai bagian dari style. Sebutlah penggunaan masker adalah lifestyle baru untuk mereka. Rata-rata, hal ini disebabkan oleh rasa ketidakpercayaan diri mereka (insecure). Seakan-akan jika mereka membuka masker, maka mereka membuka aurat. Orang-orang ini, memanfaatkan masker sebagai penambah keberanian mereka untuk tampil dan berbaur di tempat umum.
Selain karena insecuritas, beberapa orang enggan membuka masker akibat dari kebiasaan yang mulai mendarah. Bukan karena malu, tetapi karena merasa ada yang kurang jika mereka keluar tanpa masker. Lebaynya mereka kecanduan memakai masker. Menganggap masker adalah pasangan serasi mereka.
Di balik semua itu, masker juga dijadikan perisai pelindung dari hal-hal yang mungkin tidak enak dilihat. Seperti menggerutu saat sedang dinasehati atau dikritik, mengolok-olok orang dengan gerakan bibir tanpa ketahuan, pura-pura tersenyum dengan hanya menyipitkan mata, menahan tawa ketika melihat orang terjatuh, penyelamat hidung kita dari orang-orang yang bau mulut, hingga bebas tidur mangap di kendaraan umum tanpa ada orang yang tahu atau mengganggu pemandangan orang sekitar.
Tapi, ada juga yang kecewa dengan munculnya kebijakan ini, yaitu orang-orang jarang keluar rumah atau jarang menggunakan masker. Namun sempat menimbun stok masker untuk kepentingan formal yang menurut perkiraan akan terlaksana dalam waktu dekat. Walaupun penggunaan masker tetap dianjurkan untuk kegiatan indoor dan tempat yang ramai pengunjung. Tetap saja, ada rasa kesal dan menyesal karena anggapan mereka bahwa stok yang ada tidak berguna.