Semua orang pasti mengetahui wayang golek. Siapa yang tidak mengenal kebudayaan khas asal Sunda ini? Berbeda dengan wayang kulit, wayang golek terbuat dari kayu dan dibentuk seperti boneka. Salah satu tokoh wayang golek yang terkenal adalah si Cepot ciptaan Ki H. Asep Sunandar Sunarya. Beliau pula yang memperkenalkan kebudayaan wayang golek hingga ke luar negeri sejak tahun 1980-an. Kebudayaan wayang sendiri telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia pada 7 November 2003.
Wayang golek pada awalnya diciptakan sekitar tahun 1583 oleh Sunan Kudus. Wayang golek diciptakan dengan tujuan agar wayang ini dapat dipertunjukkan saat siang hari, mengingat wayang kulit yang telah terkenal sebelumnya hanya dapat dipertontonkan pada malam hari saja. Wayang golek sendiri dijadikan sebagai media memperkenalkan agama Islam pada masyarakat.
Awalnya, kehadiran wayang golek tak terlalu dilirik oleh masyarakat, terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah mengenal wayang kulit terlebih dahulu. Namun, pada akhirnya, wayang golek buatan Sunan Kudus menarik perhatian dari para ulama dan santri dari Cirebon. Wayang golek akhirnya dibawa ke tanah Parahyangan, dan mengalami perkembangan di sana.
Tak hanya berkisah soal sejarah tanah Jawa, semakin lama, cerita wayang golek semakin meluas hingga menceritakan cerita Hindu seperti Ramayana dan Mahabharata. Kisah-kisah yang awalnya menggunakan bahasa Jawa, perlahan mulai berganti menjadi bahasa Sunda karena semakin bertambahnya dalang orang Sunda.
Setelah melewati berbagai perjalanan hingga terkenal ke dunia internasional, ironisnya, wayang golek berada pada ambang keterlupaan. Mungkin generasi muda masih mengetahui apa itu wayang golek, tapi apakah mereka memiliki keinginan untuk melestarikannya? Pembuatan wayang golek membutuhkan kerajinan tangan yang teliti dan sabar, tak sembarang tangan dapat membuatnya dalam waktu singkat.
Menurut Bhatara Sena, seorang dalang wayang golek di Bandung melalui wawancara dengan Tribun pada Kamis, 16 Januari 2020, perajin wayang di Jawa Barat bahkan bisa dihitung dengan jari. Hal ini tidak mengherankan, sebenarnya. Hal senada juga diungkapkan Rudi Yantika dan Uze Alfariji yang berprofesi sebagai perajin wayang. Mungkin memang banyak wayang golek berbentuk suvenir, namun tak bisa dipakai untuk pentas wayang. Ada anak-anak muda yang ingin belajar, namun memang sepertinya sulit membuat generasi sekarang tertarik dengan kerajinan wayang yang telah dianggap kuno.
Seiring derasnya arus globalisasi sekarang, generasi-generasi muda nampaknya menganggap bahwa kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia lebih menarik daripada budaya Indonesia sendiri. Apabila saya melihat ke kondisi keluarga saya sendiri saja, sepupu-sepupu saya yang masih belia lebih memilih duduk bersama gawainya dan membuka aplikasi YouTube untuk menonton kartun-kartun dengan animasi yang menarik.
Tak pernah terlintas di pikiran mereka untuk menonton pertunjukan wayang golek di aplikasi itu. Untuk sekadar menonton saja tidak tertarik, apalagi untuk mencoba memainkan pentas wayang goleknya. Memang tidak mustahil apabila ada dari mereka yang tertarik dengan wayang golek hingga menjadikan profesi pengrajin wayang sebagai pekerjaannya, tapi kemungkinannya sangat tipis.
Generasi muda menganggap bahwa “pekerjaan lain” lebih berpeluang besar, sehingga wayang golek yang terkesan “kuno” sudah tidak menarik lagi di mata mereka. Apakah ada yang tertarik mengambil risiko sebesar itu, berusaha bermimpi besar untuk menaikkan kembali nama wayang golek? Saya rasa tidak, dan jujur saya sendiri sepertinya tidak akan berani.
Beberapa alasan mengapa menurut saya kebudayaan luar lebih menarik bagi generasi muda adalah bagaimana cara mereka menyajikan hiburan tersebut. Pertunjukan wayang golek tradisional biasanya memakan waktu berjam-jam untuk satu judul saja, sedangkan, film-film dari luar biasanya hanya membutuhkan waktu 1-2 jam saja, bahkan bisa kurang dari itu.
Dengan sedikitnya waktu, hiburan-hiburan dari luar bisa menghibur generasi muda dengan caranya sendiri. Bahkan, mereka bisa membawakan cerita dengan plot yang lebih menarik dengan memadukan aksi dari tokoh atau animasi yang sangat dinamis. Bandingkan dengan gerakan wayang golek yang cukup terbatas, latar belakang yang berulang-ulang, dengan musik tradisional yang mungkin sudah bosan didengarkan oleh generasi muda.
Memperhatikan beberapa kelebihan dari hiburan luar, ada beberapa hal yang sebetulnya dapat diterapkan ke dalam pertunjukan wayang golek. Pertama, durasi cerita pada wayang golek dapat dibagi menjadi beberapa episode. Keterbatasan waktu generasi muda untuk menonton hiburan adalah tuntutan sekolah dan pekerjaan yang begitu padat. Waktu 3-4 jam untuk menonton pertunjukan wayang golek dianggap terlalu membuang waktu, sedangkan film-film berdurasi 1-2 jam lebih menghemat waktu dengan rasa kepuasan tersendiri dalam menikmatinya.
Selain durasi yang dibagi, pertunjukan wayang golek dapat dimodernisasi menggunakan teknologi. Gerakan wayang golek sudah menjadi ciri khas tersendiri, namun untuk bagian latar belakang pertunjukan sampai ke pencahayaan panggung dapat diperindah lagi menggunakan teknologi. Sudut perekaman dapat dikembangkan lagi, namun tetap mempertahankan bagaimana pertunjukan wayang golek sebenarnya.
Sama seperti kebudayaan Indonesia yang lain, wayang golek sebenarnya unik dan patut dilestarikan. Sayangnya, dengan perkembangan teknologi yang semakin maju disertai dengan arus globalisasi, kebudayaan Indonesia tak bisa hanya diam dan berharap dilirik begitu saja. Perlu upaya untuk membuat kebudayaan kita menarik, tentu saja dengan teknologi yang dapat kita nikmati. Kalau seni wayang golek hanya dibiarkan ala kadarnya, saya rasa pada akhirnya wayang golek hanya akan tersisa di dalam buku IPS atau buku seni budaya dalam kategori “Seni Tiga Dimensi”